Terjemah Kitab Tadzhiib BAB Al-Buyu' Wal Mu'amalat (Jual Beli dan Transaksi dalam Kehidupan)
KITAB AL BUYU’ WAL MU’AMALAT
(JUAL BELI DAN TRANSAKSI DALAM KEHIDUPAN)
Jual beli ada tiga macam: jual beli barang secara
langsung dan nyata itu diperbolehkan,(1)
jual beli sesuatu yang ditentukan sifat-sifatnya (spesifikasinya) di dalam
suatu perjanjian, jual beli seperti ini diperbolehkan asalkan sifat-sifat
dimaksud dijamin dapat diwujudkan, dan jual beli barang yang tidak ada ditempat
dan tidak dapat disaksikan pada saat transaksi, maka jual beli semacam ini
tidak diperbolehkan.(2)
Sah jual beli semua barang yang suci, bermanfaat,
dan sebagai hak milik,(3) dan
tidak sah jual beli barang yang najis, dan tidak bermanfaat.(4)
(Fasal): Riba itu bisa terjadi pada emas, perak atau
bahan makanan,(5) dan tidak
diperbolehkan jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak, kecuali sama
dan naqdan (serah terima langsung).(6)
Tidak diperbolehkan menjual barang yang dibeli
sebelum berada dipegang di tangan,(7) tidak
boleh membeli daging dengan hewan hidup,(8)
dan diperbolehkan menjual emas dengan perak yang lebih volumenya secara naqdan
(serah terima langsung).(9)
Demikian juga bahan makanan: tidak diperbolehkan menjual bahan makanan sejenis,
kecuali harus naqdan,(10)
diperbolehkan menjual satu jenis dengan jenis yang lain dengan ada kelebihan
asalkan naqdan,(11) dan tidak
diperbolehkan melakukan bai’ul ghoror
(jual beli penipuan).(12)
(Fasal): Antara penjual dan pembeli memiliki hak
khiyar, selama belum berpisah,(13) Kedua belah pihak boleh menentukan
syarat adanya khiyar sampai dengan tiga hari,(14)
apabila didapati barang yang dibeli ternyata cacat, maka pembeli berhak
mengembalikan barang tersebut.(15)
Tidak diperbolehkan menjual buah-buahan secara
mutlak keculai sesudah jelas-jelas masak,(16)
dan tidak diperbolehkan berjual beli yang di dalamnya terdapat berlebih (riba)(17) yang sejenis dalam keadaan masih ruthob
(kurma basah), kecuali air susu.(18)
(Fasal): Dianggap sah adanya akad salam (semacam
pesan suatu barang)(19) baik
tunai atau hutang dengan lima syarat: dengan ciri atau spesifikasi yang jelas,
haru satu jenis barang tidak tercampur dengana yang lain, tidak ada unsur api
dalam penyerahannya, bukan benda yang tampak sudah ada,(20) dan bukan pula sebagian dari benda
yang sudah ada di tempat. Untuk sahnya barang yang dipesan ada delapan
persyaratan: ditentukan sifat-sifat barang setelah ditetapkan jenis serta
macamnya, untuk menentukan ragam harganya, dijelaskan standar ukurannya
sehingga tidak ada hal-hal yang tidak diketahui, apabila tidak tunai, maka
ditentukan waktu penyerahannya, barang ahrus ada pada saat serah terima,
ditentukan tempat serah terima barang, dikethaui hargnya secara jelas,(21) serah terima dilakukan sebelum kedua
belah pihak berpisah,(22) akad
salam dianggap final (jadi), tanpa adanya khiyar syarat.(23)
(Fasal): Semua barang yang boleh dijual belikan,
maka boleh digadaikan (dijaminkan) dalam hal hutang piutang,(24) apabila sudah menjadi tangungannya
secara tetap. Bagi orang yang menggadaikan/menjaminkan barang berhak menarik
kembali barangnya, sebelum diserah terimakan,(25)
orang yang menggadaikan tidak boleh didenda kecuali apabila melewati batas,(26) apabila sudah menyerahkan sebagian
hak yang berpiutang, maka orang yang menggadaikan tidak boleh menarik kembali
barang yang digadaikan sebelum dibayar luas secara keseluruhan.
(Fasal): Hajru (membatasi hak kelola harta)
terhadap enam orang: anak-anak, orang gila, orang dungu, orang boros terhadap
hartanya (tabdzir),(27)
orang yang bangkrut akibat terbenam dalam hutang,(28) orang yang sakit keras yang
mengkahwatirkan,(29) selebihnya dari
sepertiganya,(30) dan budak yang tidak
mendapatkan izin untuk berdagang.
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak-anak,
orang gila, dan orang dungu tidak sah hukumnya, sedangkan transaksi jual beli
yang dilakukan oleh orang yang sedang mengalami kebangkrutan hukumnya sah
terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya, bukan pada hakibat hartanya.
Transaksi orang yang sakit keras, yang melebihi dari sepertiga harus menunggu
mendapatkan izin dari ahli warisnya setelah dia meninggal nanti, dan transaksi
seorang budak akan diperhitungkan setelah dia merdeka nanti.
(Fasal): Shahnya suatu shuluh (islah/perdamaian)
harus disertai dengan ikrar (pernyataan lisan)(31)
dalam urusan harta, atau yang mengarah kepada harta,(32) ada dua macam ishlah: ibrok (bebas
tanpa tuntutan) dan mu’awadloh (ada pengganti).
Adapun yang dinamakan Ibrok ialah: mencukupkan
sebagian haknya saja, dan tidak boleh digantungkan dengan persyaratan (tak
bersyarat). Sedangkan mu’awadloh: ialah memindahkan haknya kepada pihak lain,
dan berlaku hukum jual beli.(33)
Orang diperbolehkan apabila membuka kaca jendelanya(34) atau rembesan air rumahnya ke jalan,
selama tidak membahayakan bagi pengguna jalan,(35)
dan tidak diperbolehkan masuk ke lorong hak bersama kecuali mendapatkan izin
pihak yang terlibat bersama. Dan diperbolehkan menadahulukan kepentingan
pemilik hak atas lorong dan tidak boleh mengakhirkannya, kecuali setelah
mendapatkan izin mereka.
(Fasal): Syarat-syarat hiwalah (pemindahan
hak/tanggung jawawab) ada empat macam:(36)
kerelaan orang yang memindahkan haknya, adanya penerimaan oleh orang yang
menerima hak, hak tersebut menjadi tanggung jawabnya secara tetap, adanya
kesepakatan yang menjadi tanggung jawab pemberi hak dan penerima hak, dalam hal
jenis, macam, tuani atau hutang, dan terbebasnya pemberi hak dari tanggung
jawab.
(Fasal): Shah hukumnya menjamin hutang yang sudah
menjadi tanggungan, apabila diketahui batasnya (jumlahnya),(37) bagi pemilik hak berhak menuntut
kepada yang ia kehendaki terhadap penjamin atau orang yang dijamin,(38) apabila penjaminan tersebut sesuai
dengan apa yang telah kami jelaskan. Apabila penjamin berhutang, maka
dikembalikan kepada orang yang dijamin, apabila hutang dan kekuasaan atas
izinnya. Dan tidak shah penjaminan yang majhul (tidak diketahui),
dan tidak pula sesuatu yang bukan kewajiban(39)
kecuali sebagai akibat dari barang yang dijual.(40)
(Fasal): Jaminan (asuransi) jiwa diperbolehkan,
apabila pada orang yang dijamin atas hak adamie.(41)
(Fasal): Untuk Syarikah (usaha bersama)
ada lima syarat:(42) hendaknya atas barang
bergerak(43) dari uang dirham atau uang dinar, adanya
kesepakatan(44) dalam hal jenis dan
macamnya, hendaknya harta bersama dicampur menjadi satu, masing-masing pihak
mendapatkan izin dari kedua belah pihak utnuk menjalankan usaha, hendaknya
keuntungan dan kerugian dibagi berdasarkan prosentasi modal keduanya.
Masing-masing pihak berhak untuk membatalkan syirkah tersebut kapan saja ia
mengehndaki. Apabila salah satunya meninggal dunia, maka rusaklah syarikah
dimaksud.
(Fasal): Semua barang yang boleh dikelola manusia
secara sendirian, maka boleh juga dia mewakilkannya kepada orang lain atau
menjadi wakil orang lain.(45)
Wakalah (perwakilan) adalah suatu akad
(perjanjian) yang diperbolehkan dalam Islam,(46) masing-masing pihak berhak untuk
membatalkan perjanjian tersebut kapan saja dia mau, perjanjian tersebut
rusak/batal sebab salah satu pihak meninggal dunia, seorang waki harus amanah (terpercaya)
terhadap apa yang ada di tangannya dan dalam hal pengelolaannya, dan wakil
tidak wajib mengganti kecuali bila ia melakukan penyimpangan.
Seorang wakil tidak boleh menjual atau membeli
barang, kecuali harus memenuhi tiga syarat: menjual/membeli dengan harga yang
pantas, pembayaran menggunakan mata uang yang berlaku di dalam negeri, tidak
boleh menjual/membeli untuk kepentingan dirinya sendiri, dan boleh membuat
ikrar pengakuan atas yang diwakilinya tanpa seizin yang mewakilkannya.
(Fasal): Hal-hal yang diikrorkan (diakui)(47) ada dua macam: hak Allah Ta’alaa,
dan hak adamie (sesama manusia). Adapun ikrar yang berkaitan
dengan hak Allah Ta’alaa, ikrarnya dapat ditarik kembali,(48) sedangkan ikrar yang bekaitan dengan
hak adamie (hak sesama manusia), maka tidak shah menarikan
kembali apa yang sudah diikrarkannya.
Untuk shahnya suatu ikra diperlukan tiga
persyaratan: sudah baligh, berakal sehat, dan ikhtiyar (atas
kesadaran sendiri).(49)
Apabila ikrar itu berkaitan dengan harta, maka ada syarat keempat yakni: cerdas
(pandai).
Apanbila orang berikrar tentang sesuatu yang tidak
jelas, maka dimintakan kepada yang bersangkutan untuk menjelaskannya, dan ikrar
itu shah dengan pengecualian di dalam kalimat ikrar, dengan catatan bersambung,
baik dalam keadaan sehat atau sakit(50)
sama saja.
(Fasal): Segala sesuatu yang memungkinkan untuk
diambil manfaatnya, dan tetap dalam keadaan utuh barangnya, maka boleh untuk
dipinjamkannya,(51) apabila manfaatnya
hanya sebagai hasil.(52)
Diperbolehkan pinjam meminjam secara mutlak atau
terikat dengan batas waktu tertentu, yakni bagi peminjang diharuskan memberikan
jaminan berupa satuan harga apabila terjadi kerusakan.(53)
(Fasal): Barang siapa yang meng-ghoshob (memakai
barang tanpa seizin pemiliknya) harta milik orang lain, maka dia wajib
mengembalikannya,(54)
membayar denda atas kekurangan yang terjadi, dan membayar sewa yang seimbang.
Apabila terjadi kerusakan, maka wajib mengganti dengan barang yang seimbang,
apabila ada barang yang seimbang, atau diganti dengan harganya apabila tidak
ada barang yang seimbang, sebesar harga pada saat terjadinya ghoshob sampai
saat terjadinya kerusakan.
(Fasal): Syuf’ah (hak prioritas membeli)
diwajibkan bahwa harta itu milik dua orang menjadi satu, bukan sekedar
berdekatan antara dua harta, berlaku untuk harta yang dapat dibagi, bukan yang
tidak dapat dibagi, dan berlaku untuk semua barang yang tidak bergerak seperti
sawah ladang dan lain-lain, dengan harga yang sesuai dengan nilai jual saat
itu.(55) Hak syuf’ah tersebut harus dalam
waktu cepat, apabila orang menundanya padahal dia memiliki kemampuan untuk
menggunakan hak tersebut, maka hak itu menjadi gugur.(56) Apabila seorang lelaki menikahi
seorang wanita dengan sibidang tanah(57)
dia berhak syuf’ah dengan sistim mahar mitsil. Apabila hak syuf’ah itu dimiliki
oleh beberapa orang, maka mereka berhak syuf’ah sebanding dengan hak miliknya.
(Fasal): Qirodl (pemberian modal kerja, bagi hasil)(58)
ada empat macam syarat: modal kerja dalam bentuk niali uang, uang dirham atau
dinar, pemilik modal memberikan izin kepada pelaksana untuk mengelola secara
mutlak, selama tidak akan memerusak modal pada umumnya, dengan ketentuan
pembagian keuntungan yang jelas,(59)
tidak dibatasi dengan rentang waktu tertentu. Dan tidak ada kewajiban bagi
pelaksana untuk mengganti, kecuali bila mereka melanggar ketentuan,(60) apabila mendapatkan keuntungan, juga
sekali waktu mengalami kerugian, maka kerugian ditutup dengan keuntungan yang
telah diperoleh.
(Fasal): Musaqoh
(kerjasama dalam pertanian) diperbolehkan untuk tanaman kurma dan
anggur,(61) untuk itu ada dua macam syarat:
pertama: ditentukan batas waktu tertentu, kedua: ditentukan pembagian yang jelas hasilnya berupa buahnya. Selanjutnya
pekerjaan dalam kerjasama ini ada dua kategori: pekerjaan yang berpengaruh
terhadap produktivitas buah, merupakan tanggung jawab pekerja (pelaksana),
sedangkan yang berkaitan dengan perbaikan tata tanah menjadi tanggung jawab
pemilik harta.
(Fasal): Semua benda yang dapat diambil manfaatnya
dengan tetap utuh pisik bendanya boleh dan shah untuk disewakan (diupah),(62) apabila ditentukan manfaatnya dengan
dua hal: dalam waktu tertentu atau dengan perbuatan tertentu dan dengan upah
segera, kecuali bila dipersyaratkan dengan upah menyusul (di belakang). Ijaroh
(sewa/upah) tidak menjadi batal sebab kematian salah satu pihak yang melakukan
perjanjian, tetapi bisa menajdi batal (rusak) apabila terjadi kerusakan benda
ayng disewakan, dan bagi pemakai jasa tidak dituntut penggantian kecuali
apabila dia melakukan pelanggaran.
(Fasal): Ji’alah (hadiah/komisi/sayembara)
diperbolehkan dalam Islam, yaitu: misaalnya:
“dengan syarat dapat menemukan kembali sesuatu yang hilang dengan
imbalan tertentu”, apabila ada orang telah dapat menemukannya, maka dia berhak
mendapatkan imbalan sesuai dengan yang dipersyaratkan (masyrut).(63)
(Fasal): Apabila seorang menyerahkan sebidang tanah
kepada pihak lain untuk ditanami, dengan janji akan memberikan bagian tertentu
dari hasil produksi pertaniannya, maka hal itu tidak diperbolehkan.(64) Apabila dibayar dengan emas atau
perak, atau dengan bahan makanan yang menjadi tanggung jawabnya, diperbolehkan.(65)
(Fasal): Ihya-ul mawat (mengolah lahan
tidur) diperbolehkan dalam Islam dengan dua syarat: orang yang membuka
lahan adalah beragama Islam, tanah yang dibuka adalah tanah yang merdeka, tidak
dimiliki oleh orang Islam.(66)
Tatacara membuka lahan disesuaikan dengan apa yang sudah berlaku kebiasaan
pembuka lahan setempat.
Wajib berderma dengan air dengan tiga sayarat: air
kelebihan dari kebutuhannya,(67)
orang lain sangat membutuhkan air tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk
hewan ternaknya, air itu berada di sumur atau mata air.(68)
(Fasal): Waqof diperbolehkan dengan tiga sayarat:
Sesuatu yang dapat ambil manfaatnya dan bendanya tetap utuh, hendaknya ada
bendanya pada saat diwaqofkan dan kepada generasi yang tidak terputus,(69) dan bukan untuk kepentingan yang
dilarang oleh syara’.(70)
Waqof itu berdasarkan persyaratan yang diberikan
oleh orang yang berwaqof: dari hal siapa yang didahulukan, di akhirkan, atau
sama-sama, atau yang diutamakan.(71)
(Fasal): Setiap benda yang boleh diperjualbelikan,
maka boleh pula dihibahkan,(72) dan
tidak tetap hibah itu kecuali setelah berada di tangan penerimanya,(73) apabila penerima yang diberi hibah
sudah menerimanya, maka orang yang memberikan hibah tidak berhak untuk menarik
kembali barang yang dihibahkan, kecuali dia adalah orang tua penerima hibah.(74)
Apabila seorang memberikan tempat tinggal (al
‘umraa atau ar ruqbaa), itu adalah hak bagi yang diberi tempat tinggal atau
ahli waris sesudahnya.(75)
(Fasal): Apabila orang menemukan luqothoh (barang
tak bertuan) di tanah yang tak bertuan atau di jalanan, maka dia berhak
memilih antara mengambil atau membiarkannya, apabila dia mengambilnya itu lebih
baik dibanding membiarkannya, selama dia kuat mental untuk menjaga hak-hak
barang tersebut. Apabila dia mengambilnya, maka dia wajib mengetahui enam hal:
wadahnya, wadah-wadah kecil di dalamnya, tali pengikatnya, jenis barangnya,
jumlahnya, dan timbangan beratnya. Dia harus menyimpannya pada tempat yang
sesuai dengan barangnya. Kemudian apabila dia berkehendak untuk memilikinya,
maka dia wajib mengumumkan selama satu tahun di pintu masjid, atau di tempat di
mana barang tersebut telah ditemukan, apabila ternyata tidak ditemukan
pemiliknya, maka dia berhak memilikinya dengan syarat adanya jaminan.(76)
Barang luqothoh itu ada empat kategori:
Pertama: barang yang abadi (tidak akan rusak) dalam
waktu lama, maka hukumnya seperti yang disebutkan diatas.
Kedua: barang yang gampang rusak sepeti makanan yang
basah, untuk itu boleh memilih antara dua: dimakan sebagai hutang, atau
menjualnya dan menyimpan hasil penjualannya.
Ketiga: barang yang akan abadi dengan memerlukan
pemrosesan lebih lanjut, seperti ruthob (buah kurma basah), maka
dia boleh berbuat apa yang membawa
kebaikan: menjual kemudian menyimpan uangnya, atau mengeringkan kemudian
menyimpannya.
Keempat: barang yang memerlukan biaya seperti hewan
ternak, ada dua macam: hewan yang tidak mampu mempertahankan hidupnya sendiri,
maka boleh memilih antara memakannya sebagai hutang dari nila jualnya, atau
mebiarkannya dengan memberikan makanan atau biaya, atau menjualnya dan
menyimpan hasil penjualannya. Hewan yang mampu mempertahankan hidupnya sendiri,
apabila didapatkan di padang, maka ditinggalkan, apabila ditemukan di
perkampungan, maka boleh meilih di antara tiga alternatif seperti tersebut di
atas.(77)
(Fasal): Apabila ditemukan seorang anak terlantar di
tengah jalan, maka memungutnya,
mendidiknya, dan mengasuhnya hukumnya fardlu kifayah.(78) Dan tidak ditempatkan dia kecuali
kepada tangan orang yang dapat dieprcaya, apabila beserta anak tersebut
didapati harta, maka hakim menginfaqkan harta tersebut, apabila tidak didapati
ahrta pada anak tersebut, maka nafkah hidupnya sehari-hari ditanggung oleh
baitul maal (perbendaharaan negara).(79)
(Fasal): Harta titipan adalah sebagai amanat,(80) dan disunnatkan untuk menerimanya
bagi orang yang mampu memegang amanat, dan pemegang amanat tidak dituntut ganti
rugi, kecuali bila melampaui batas, pernyataan penerima titipan lebih diterima
dalam hal menolak orang yang memberi amanat. Bagi orang yang menerima rtitipan
wajib menjaganya dalam tempat ayng sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya,
apabila diminta kembali oleh pemiliknya dan dia tidak memberikannya – padahal
dia mampu untuk berbuat demikian – sehingga barang titipan tersebut menjadi
rusak, maka dia wajib menggantinya.
(1) Dasar disyari’atkannya jual beli adalah ayat-ayat al
Qur’an, antara lain firman Allah Ta’alaa: “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (al Baqoroh:275). Dan beberapa hAdits Nabi saw, antara lain
hadits riwayat al Hakim (II/10), Rasulullah saw. ditanya: Manakah pekerjaan
yang terbaik? Beliau menjawab: “Perbuatan seorang dengan tangannya sendiri, dan
semua bentuk jual beli yang mabrur atau baik”, artinya tidak ada manipulasi di
dalamnya dan tidak ada khiyanat.
(2) Oleh karena suatu penipuan, atau dapat diduga
akan terjadinya manipulasi atau penipuan, Rasulullah saw. telah melarang "بيع
الغرار" (jual beli penipuan),
diriwayatkan oleh Muslim (1513).
(3) Tidak sah jaul beli sesuatu yang tidak di
miliki, berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Tidak ada jual beli kecuali
terhadap barang yang dimiliki”, diriwayatkan oleh Abu Dawud (2190).
(4) Berdasarkan ketentuan syara’, seperti khomer,
babi, serta alat-alat untuk perjudian dan lainnya. Hadits riwayat al Bukahry
(2121) dan Muslim (1581), dari Jabir ra. bahwasanya dia mendengar Rasulullah
saw. bersabda pada hari terbukanya kota Makkah, dan beliau berada di Makkah:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi
dan patung”. Ditanyakan: wahai Rasulullah, bagaimana pendapat tuan tentang
lemak bangkai, sesungguhnya lemak tersebut untuk mengolesi perahu, meminayki kulit,
serta untuk minyak lampu (penerangan) bagi manusia? Beliau menjawab: “Jangan,
itu haram”. Lalu Rasulullah saw. bersabda ketika itu: “Allah melaknat orang
Yahudi, sesungguhnya Allah ketika mengharamkan lemaknya, mereka memrosesnya (dengan
melelehkannya untuk dijadikan minyak) lalu menjualnya kemudian mereka
memakan uang hasil penjualannya”. Yang dimaksudkan lemak bangkai, termasuk
lemak bangkai sapi atau kambing, sebagaimana diberitakan dengan firman Allah
kepada orang Yahudi: “Dari sapi dan kambing kami haramkan bagi mereka (Yahudi)
lemaknya” (al An’am:146).
(5) Dijelaskan maknanya sesuai dengan syara’ dala
urusan ini. Riba menurut bahasa: kelebihan, menurut syara’: sesuatu transaksi
yang jelas-jelas didalamnya terjadi kelebihan (tambahan) dalam bentuk tertentu,
menafikan terhadap pokok-pokok tasyri’ Islami (kaidah pembentukan
hukum Islam). Transaksi dengan cara riba merupakan dosa besar, dasar
keharamannya adalah firman Allah ta’alaa: “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (al Baqoroh: 275). Banyak hadits, antara lain yang
diriwayatkan oleh Muslim (1598), dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw.
melaknat orang yang memakan harta riba, orang yang bersekongkol dalam urusan
riba, penulis transaksi riba, dan saksi terjadinya riba. Jabir berkata: mereka
itu sama saja, artinya sama-sama berbuat maksiyat dan dosa.
(6) Hadits riwayat Muslim (1588), dari Abi
Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Jual beli emas dengan emas
sama beratnya, sama kualitasnya, atau perak dengan perak juga harus sama
beratnya dan sama kualitasnya, barang siapa yang menambah atau minta ditambah,
maka hal itu riba”. Dalam satu riwayat dari Abi Sa’id ra. (1584): “yadan
biyadin” (serah terima langsung) atau disebut pula dengan “naqdan”,
artinya adanya serah terima langusng di tempat transaksi terjadi.
(7) Hadits riwayat al Bukhary (2028), dari Ibnu
Abbas ra. ia berkata: Adapun jual beli yang dilarang oleh Rasulullah saw.
adalah bahan makanan dijual sampai berada di tangan. Ibnu Abbas menyatakan:
Saya tidak memperhitungkan setiap sesuatu kecuali seimbang, atau sejenis bahan
makanan tidak boleh dijual sebelum berada di tangan. Hadits riwayat al Hakim
bin Khozam ra. ia berkata: Saya bertanya: Wahai Rasulullah, saya menjual barang
dagangan, maka mana yang halal dan yang haram bagiku? Beliau menjawab: “Wahai
anak saudaraku, janganlah menjual sesuatu sebelum berada di tangan” (al
Baihaqy: V/313). Hadits riwayat Abu dawud (3499), dari Ibnu Umar ra. ia
berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang menjual barang dagangan yang
baru dibeli, sampai pedagang memindahkannya ke kendaraan atau rumah mereka
(sudah diterima).
(8) Berdasarkan hadits Samuroh ra., bahwasanya
Nabi saw. melarang menjual kambing dengan daging, diriwayatkan oleh al Hakim
(II/35), ia menyatakan: hadits ini sanadnya shohih, para perowinya orang-orang
kuat hafalannya serta kuat. Hadits riwayat Malik di dalam al Muwathok (II/655)
mursal, dari Sa’id ibnul Musayyab rohimahullah, bahwasanya Nabi saw.melarang
menjual hewan dengan daging.
(9) Hadits riwayat Muslim (1587), dari Ubadah bin
as Shomit ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Emas dibeli dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum,juwawut dengan juwawut, tamar dengan
tamar, garam dengan garam …. Harus seimbang dan sama dan yadan biyadin,
apabila berbeda jenisnya, maka lakukanlah jual beli sesuai yang kamu kehendaki,
asalkan yadan biyadin”. Hadits riwayat al Bukhary (2070), dan Muslim (1589),
dari al Barrok bin Azib dan Zaid bin Arqom ra.: Rasulullah saw. melarang jual
beli emas dengan perak dengan cara hutang. Pengertian: sesuai dengan yang kamu
kehendaki, baik sejenis atau berbeda jenis dengan takaran atau timbangan.
(10) Hadits riwayat Muslim (1588), dari Abi
Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tamar dengan tamar, gandum
dengan gandum, juwawut dengan juwawut, garam dengan garam, sebanding dengan
cara yadan biyadin, barang siapa yang memberikan tambahan atau meminta
tambahan, maka berarti sudah riba, kecuali apabila barang tersebut berlainan
jenisnya”, artinya apabila berbeda jenisnya, maka boleh ada kelebihan asal
secara anqdan. Hadits riwayat al Bukhary (2089) dan Muslim (1593), dari Abi
Sa’id al Khudry dan Abi Hurairoh ra., bahwsanya rasulullah saw. mempekerjakan
seorang lelaki untuk berdagang ke negeri Khoibar, dia datang dengan membawa
tamar berkualitas baik, maak Rasulullah
saw. bertanya: “Apakah semua tamar di Khoibar sebaik ini, dia menajwab: Tidak,
demi Allah ya Rasulullah, saya membeli satu sho’ di sana dengan dua sho’, dua
sho’ dengan tiga sho’. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Jangan engkau berbuat
demikian, juallah kurma jelek ini dengan uang dirham, lalu belilah tamar
berkualitas baik dengan uang dirham tersebut”.
(12) Yakni semua jual beli yang tidak diketahui
bendanya, yang mengakibatkan ragu-ragu antara manfaat dan mafsadahnya
(bahayanya), tidak diketahui kepastiannya, seperti jual beli janin hewan masih
dalam kandungan, air susu masih di paydara induk hewan, tidak diketahui jenis
barangnya, dan lain sebagainya. Hadits riwayat Muslim (1513), dari Abi Hurairoh
ra. ia berkata: Rasulullah saw, melarang jual beli kerikil, dan jual beli
ghoror. Jual beli kerikil artinya: jual beli terhadap barang yang tidak jelas,
pembeli/penjual melemparkan kerikil, mana barang yang terkena kerikil itulah
yang dijual/dibeli, ada ulama lain yang menyatakan tidak demikian.
(13) Hadits riwayat al Bukhary (2005) dan Muslim
(1531), dari abdullah bin Umar ra., bahwasanya rasulullah saw. bersabda:
“Penjual dan pembeli masing-masing mempunyai hak khiyar terhadap pihak lainnya,
selama belum berpisah dari tempat transaksi, kecuali jual beli dengan khiyar”
Maksud dengan khiyar: masing-masing pihak berhak untuk melanjutkan jual
belinya atau membatalkan jual belinya dan mengembalikan barangnya. Sedangkan
pengertian selama belum berpisah (khiyar majelis): salah satunya
sudah meninggalkan tempat transaksi, apabila salah satunya sudah meninggalkan
tempat, maka jual beli tersebut jadi. Bai’ul khiyar (khiyar syarat)
artinya: Apabila salah satu pihak mengatakan kepada pihak lainnya: Pilihlah
jadi atau batal jual beli ini? Apabila memilih salah satu antara jadi atau
batal, maka pilihan itu berlaku.
(14) Hadits riwayat al Bukhary (2011) dan Muslim
(1533), dari Abdullah bin Uamr ra., bahwasanya ada seorang lelaki menjelaskan
kepada Nabi saw. bahwa dia telah ditipu dalam jual beli, maka beliau bersabda:
“Apabila engkau berjual beli, katakanlah: tidak ada manipulasi dan tidak ada
penipuan. Menurut riwayat al Baihaqy (V/273) dangan sanad hasanL “Kemudian kamu
berhak khiyar untuk setiap barang dagangan yang engkau beli selama tiga malam”.
(15) Hadits riwayat al Bukhary (2041) dan Muslim
(1515), dari Abi Hurairoh ra. dari Nabi saw.: “Jangan kamu tinggal diamkan onta
dan kambing tidak diperah susunya, barang siapa yang menjual sesudahnya, maka
akan tampak jelas setelah onta atau kambing tersebut diperah susunya, kalau
pembeli mau silakan pertahankan, bila tidak silakan dikembalikan dengan
mengganti air susu yang sudah diperah dengan satu sho’ tamar”. Pengertian: "لاتصروا"
adalah: jangan membiarkan berhari-hari onta atau kambing tidak diperah air
susunya, diikat putting susunya sehingga air susu terkumpul di dalam
payudaranya, seolah-olah onta atau kambing tersebut banyak air susunya (manipulasi),
maka pembeli berhak mengembalikan sebelum memerah susu hewan yang dibeli
apabila dia tahu bahwa air susunya beberapa hari tidak diperah. Hal
menunjuukkan bahwa adanya khiyar, dan hak pengembalian karena terdapat cacat.
(16) Hadits riwayat al Bukhary (2072), dan Muslim
(1534), dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw. melarang menjual
buah-buahan, sampai jelas-jelas sudah masak, melarang kepada penjual dan
pembeli” Di dalam satu riwayat menurut Muslim: Rasulullah saw. bersabda:
“Janganlah kamu menjual buah-buahan, sampai tampak jelas sudah matang, dan
dijamin tidak ada penyakit”, artinya tidak terkena sesuatu yang akan
merusaknya.
(17) Yang di dalamnya terdapat
penyebab terjadinya riba, dalam wujud barang berharga atau bahan makanan.
(18) Oleh karena sudah jelas bahwa itu serupa,
adapun untuk yang lain (selain susu), misalnya anggur dan lainnya, maka tidak
jelas keterserupaannya.
(19) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Wahai orang
yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi hutang piutang dalam masa tertentu,
maka catatlah” (al Baqoroh: 282). Ibnu Abbas menyatakan: Yang dimaksud di sini
adalah aqad “salam”. Hadits riwayat al Bukhary (2125), dan Muslim
(1604), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah, mereka
meminjamkan tamar dua atau tiga tahun, maka beliau bersabda: “Barang siapa yang
meminjamkan sesuatu, maka pinjamkanlah dengan cara ditakar atau ditimbang
secara jelas, dan sampai batas waktu yang jelas pula”.
(20) Yang bendanya ada di tempat dan dapat
ditunjukkan benda itu, oleh karena pada dasarnya salam itu adalah hutang
piutang.
(21) Dasar dari persyaratan di atas adalah firman
Allah Ta’alaa: “Sampai waktu tertentu”, dan sabda Rasulullah saw. di dalam
hadits: “Dengan takaran yang jelas, timbangan jelas, dan pada batas waktu yang
jelas”, untuk yang tidak disebutkan disini dianalogikan dengan apa yang sudah
dijelaskan.
(22) Penyerahan barang yang ditransaksikan (salam)
kepada yang berhak di tempat terjadinya transaksi, berdasarkan sabda Rasulullah
saw.: “Barang siapa yang bertransaksi pinjam meminjam, maka laksanakanlah”,
inilah maksudnya. Wallahu a’lam.
(23) Oleh karena akad salam akan terjadi penipuan
ketika dilihat dari sisi bendanya yang belum ada, dan di dalam khiyar syarat
juga bisa terjadi penipuan, ketika terlintas, bahwa transaksi tersebut bisa
jadi biusa pula batal, oleh karena itu janganlah disatukan antara dua hal yang
kemungkinan akan terjadi penipuan.(Oleh karena itu tidak ada khiyar syarat).
(24) Dasar masalah ini adalah firman Allah ta’alaa:
“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bertransaksi secara tidak tunai), sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang
dipegang” (al Baqoroh: 283). Jaminan/gadai hukumnya sah baik orang dalam
bepergian atau hadir (di rumah), telah diriwayatkan hadits oleh al Bukhary
(1962), dan Muslim (1603), dari A’isyah ra., bahwasanya Nabi saw. membeli
makanan dari kepada orang Yahudi dengan tidak tunai, beliau menjaminkan baju
besi beliau.
(25) Artinya bagi yang menggadaikan berhak menarik
kembali barangnya sebelum barang tersebtu ditangan yang berpiutang. Berdasarkan
firman Allah ta’alaa: “Jaminan yang sudah diterima tangan”, dan barang gadaian
tidak menjadi tetap sebelum diserah terimakan.
(26) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Barang
gadaian tidak tidak boleh menutup hak pemiliknya, pemiliknya tetap berhak atas
keuntungan atau kerugian dari barang tersebut”, hadits diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban (1123) dan al Hakim (II/51), dinyatakan shohih. Tidak boleh menutup di
sini artinya: Orang yang berpituang tidak boleh menghalangi hak pemiliknya,
atau mendendanya kecuali bila yang berhutang melampaui batas.
(27) Firman Allah Ta’alaa: “Dan janganlah kemu
serahkankepada orang yang belum sempurna
akalnya harta mereka yang dijadikan oleh Allah sebagai pokok kehidupanmu”, (an
Nisak: 5). Dan firman Allah Ta’alaa: “Jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah keadaannya, atau dia sendiri tidak mampu untuk mengimlakkan
(tidak tahu hitung dan tulis), maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur”. Maksud dalail ini, bahwa Allah Ta’alaa menjelaskan bahwa mereka
itu digantikan oleh walinya dalam hal mengelola ahrta, itulah makna dari hajru.
Allah berfirman: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai mengelola harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta
mereka”, (an Niask: 6). Ayat ini menjunjukkan bahwa terhadap anak yang belum
cerdas mengurus harta, tidak boleh diserahkan hartanya kepadanya, dia dibatasi
hak-haknya oleh walinya.
(28) Hadits riwayat Malik dari Umar ra. ia berkata:
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya al Asaifii’rela sebab hutang atau amanatnya
disebut haji terlambat, dia berhutang enggan untuk melunasinya, akibatnya
lama-lama banyak hutang dan tidak mampu membayarnya. Maka barang siapa yang
merasa mempunyai hak padanya, hendaklah besok pagi hadir, kami akan menjual
hartanya, dan membaginya untuk membayar hutang. Kemudian jauhilah olehmu
berhutang, pada awalnya kegelisahan dan pada akhirnya penyesalan.
(30) Hadits riwayat al Bukhary (1233) dan Muslim
(1628), dari Sa’ad bin Abi Waqosh ra. ia berkata: Rasulullah saw. mengnjungi
saya pada tahun haji wadak, sebab saya sakit keras, saya berkata: Sesungguhnya
saya sakit berat, dan saya mempunyai harta peninggalan, dan tidak ada ahli
waris kecuali hanya seorang anak perempuan saya, apakah boleh saya sedekahkan
dua pertiga harta saya? Beliau menjawab: Tidak. Saya bertanya: Kalau
separohnya? Beliau menjawab: Tidak. Lalu beliau bersabda: Sepertiga saja,
sepertiga sudah besar dan banyak, sesungguhnya lebih baik engkau meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan kaya, dari pada meninggalkannya dalam kemiskinan dan
menjadi peminta-minta.
(32) Artinya sesuatu yang dapat ditafsirkan
urusannya kepada harta, sebagaimana orang yang memegang hak sebuah cerita
terhadap yang lain, maka perdamainnya antara lain berdasarkan perhitungan
harta, menurut dasar-dasar syara’. Firman Allah ta’alaa: “Perdamaian/ishlah itu
baik” (an Niasak: 128), dan sabda Nabi saw.: “Shulhu (perdamaian) itu
diperbolehkan antara dua orang Islam, kecuali perdamaian dalam hal mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang Islam itu boleh membuat persyaratan-persyaratan,
kecuali syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”, hadits
riwayat at Tirmidzy (1352), ia menyatakan: hadits ini hasan shohih.
(33) Berdasarkan telah tetapnya hak khiyar majelis
dan khiyar syarat, pengembalian barang karena cacat, dan sebagainya.
(34) Berdosa, yakni memperpanjang bagian dari atap
rumah di atas tembok keluar sampai ke jalan. Dalil yang menunjukkan demikian
adalah: Bahwasanya Rasululah saw. mendirikan saluran air di rumah paman beliau
yakni Abbas ra., karena melewati masjid Rasulullah saw. diriwayatkan oleh Ahmad
di dalam kitab Musndanya, al Baihaqy dan al Hakim. Dan diqiyaskan dengan
saluran air orang lain.
(35) Apabila membahayakan seseorang atau pengguna
jalan, atau memanjang sampai ke rumah
tetanganya, hal itu dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Jangan
membahayakan dan jangan pula dibahayai”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2340
–2341), dan lainnya.
(36) Dasar hukum disyari’atkannya hiwalah, hadits
riwayat al Bukhary (2166), dan Muslim (1564), dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda: “Pemguluran waktu pembayaran hutang bagi yang mampu
adalah suatu kedholiman, apabila kamu setuju memindahkan hutang kepada orang
yang lebih mampu, maka laksanakanlah”. Di dalam riwayat lain: “Apabila kamu
memindahkan hak kepada orang yang lebih mampu, maka pindahkanlah”.
(37) Hadits riwayat alBukhary (2168), dari Salmah
bin al Aku’ ra. ia berkata: Kami duduk di dekat Rasulullah saw. ketika itu di
hadirkan satu jenazah, mereka berkata: Wahai Rasul, mohon kiranya tuan berkenan
menyalatinya. Belia bertanya: “Apakah dia mempunyai tanggungan hutang?”, mereka
menjawab: Tidak. Beliau bertanya: “Apakah dia mempunyai harta peninggalan?”
Mereka menjawab: Tidak. Maka beliau sholat untuk jenazah tersebut. Lalu beliau
didatangkan jenazah lainnya, mereka berkata: Wahai Rasul, kiranya tuan berkenan
menyalatinya. Beliau bertanya: “Apakah di menanggung hutang?”. Mereka menjawab:
Ya. Beliau bertanya: “Apakah dia meninggalkan harta?” Mereka menjawab: Tiga
dinar. Maka beliau sholat jenazah. Kemudian di datangkan lagi jenazah yang
lain, mereka berkata: Kiranya Rasul berkenan menyalatinya. Beliau bertanya:
“Apakah dia meningalkan harta?” Mereka menjawab: Tidak. Beliau bertanya:
“Apakah dia menanggung hutang?” Mereka menjawab: Tiga dinar. Beliau bersabda:
“Sholatlah kamu untuk saudaramu”. Abu Qotadah berkata: Sholatkanlah dia wahai
Rasul, dan hutangnya menjadi tanggungan saya, maka beliau melakukan sholat
untuk jenazah tersebut. Menurut riwayat an Nasaie (IV/65) Nabi saw. bersabda:
“Sudah cukup”, beliau bersabda: “Sudah cukup, lalu beliau sholat untuk janazah
tersebut. Artinya: Janji ini atasmu untuk mencukupinya. Menurut riwayat Ibnu
Majah (2407) Abu Wqotadah berkata: “Saya menanggung hutangnya”. Dan hal ini
merujuk kepada firman Allah Ta’alaa: “Bagi siapa yang dapat mengembalikannya,
maka akan memperoleh bahan makanan seberat beban onta, dan aku menjamin
terhadapnya” (Yusuf: 72). Seberat beban onta, sudah dikenal oleh manusia pada
zaman Nabi Yusuf.
(38) Adapun terhadap penjamin: berdasarkan sabda
Nabi saw.: “Hutang harus dibayar, pada hakikatnya penjamin adalah yang
berhutang”, diriwayatkan oleh at Tirmidzy (1265) dinyatakan hasan. Adapun
terhadap yang dijamin, berdasarkan sabda Nabi saw. kepada Abi Qotadah ra., setelah
dia membayar hutang yang menjadi tanggungannya dari mayit: “Sekarang sudah
menjadi dingin kulitnya dengan terbayar hutangnya”, diriwayatkan oleh Ahmad
(III/330).
(39) Ada dan tetap di dalam tanggungannya, misalnya
orang menyatakan: Saya menjamin bagimu apa-apa yang akan engkau pinjamkan
kepada si Fulan.
(40) Yakni, menjamin terhapa pembeli jumlah harga
yang telah dibayar, apabila barang yang diserahkan hak milik orang lain, atau
terdapat cacat, dan sebagainya. Dan ini sebagai jaminan terhadap sesuatu yang
belum ada dan belum tetap, dan diperbolehkan sebab sangat dibutuhkan olehnya.
(41) Kebolehannya merujuk kepada firman Allah
Ta’alaa: “Maka ambillah salah seorang di antara kami sebagai penggantinya,
sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang-orang yang baik” (Yusuf: 78).
(42) Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya syarikah,
adalah hadits riwayat Abu Dawud (3383), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: Saya adalah
pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama tidak berkhiyanat salah
satunya kepada teman berserikatnya, apabila mengkhiyanatinya, maka Aku keluar
dari antara mereka berdua”. Pengertian pihak ketiga dari dua orang berserikat:
Allah akan selalu menjagaa, menolong, dan menurutnkan barokah di dalam harta
yang dieprolehnya. Aku keluar dari antara mereka: Aku mencabut abrokah dari
harta keduanya.
(45) Dalil yang menunjukkan demikian adalah banyak
hadits Nabi saw. antara lain: tentang pembayaran hutang: hadits riwayat al
Bukhary (2182) dan Muslim (1601), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Ada seorang
lelaki yang mempunyai onta umur tertentu pada Nabi saw., dia datang kepada
beliau untuk meminta kembali ontanya, maka beliau bersabda: “Berilah dia”,
mereka mencari yang umurnya seperti yang dimaksud tidak mendapatkannya, kecuali
umur satu tahun lebih. Maka beliau bersabda: “berikanlah kepadanya”dan beliau
bersabda: “Semoga Allah mencukupiku dan mencukupimu”. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya oang yang terpilih di antara kamu adalah yang paling baik di
antara kamu keputusannya”. Yang berkaitan dengan pembelian: hadits riwayat at Tirmidzy
(1258) dengan sanad shohih, dari Urwah al Bariqie ra. ia berkata: Rasulullah
saw. menyerahkan kepada saya uang satu
dinar, agar saya membelikan seekor kambing untuk beliau. Saya membeli untuk
beliau dua ekor kambing, lalu seekor di antaranya saya jual dengan harga satu
dinar, kemudian saya datang menghadap kepada Rasulullah saw. membawa seekor
kambing dan uang satu dinar, dan saya jelaskan kepada beliau tenatng
perbuatanan saya. Maka beliau bersabda: “Semoga Allah memberkati engkau dalam
hal transaksi tangan kananmu”. Dalam urusan suami isteri: hadits riwayat al
Bukhary (2186), dan Muslim (1425), dari Sahal bin Sa’ad ra. ia berkata: Datang
seorang wanita kepada Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya benar-benar menyerahkan jiwaku kepadamu. Maka ada seorang
lelaki berkata: Wahai Nabi, nikahkanlah saya dengan dia. Beliau bersabda:
“Sungguh-sungguh aku nikahkan engkau dengan dia, dengan apa yang ada pada
engkau dari al Qur’an”. Pengertian: "بما معك"
Ajarilah dia apa-apa yang telah engkau hafal dari al Qur’an sebagai mahar
(maskawin) baginya.
(47) Dasar disyari’atkannya ikrar, adalah firman
Allah Ta’alaa: “Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, beiarpun terhadap dirimu sendiri” (an Nisak:135).
Kesaksian terhadap diri sendiri adalah ikrar. Dan sabda Rasulullah saw.:
“Wahai Unais berangkatlah pagi-pagi besuk mengurus wanita ini, apabila dia
membuat pengakuan, maka rajamlah dia”. Maka pada pagi harinya wanita itu
membuat pengakuan, maka Rasulullah saw. memerintahkannya, maka wanita itu
dirajam, diriwayatkan oleh al Bukhary (2575) dan Muslim (1697).
(48) Dalil yang menunjukkan demikian adalah qisah
tentang perajaman terhadapMa’iz ra., bahwasanya dia kerika merasakan lempara
batu, maka dia melarikan diri, maka mereka menangkapnya dan merajamnya.
Kemudian mereka memberitahukan kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda:
“Mengapa kamu tidak meninggalkannya?”, al Bukhary (4970), dan Muslim (1691) dan
at Tirmidzy (1428).
(49) Tidak diperhitungkan suatu ikrar atas dasar
paksaan dari pihak lain kepadanya, hadits riwayat Ibnu Majah (2044), dari Abi
Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah
membebaskan bagi ummatku dari dosa dari apa yang terlintas di dalam dadanya
(hatinya), selama tidak diucapkan atau dilakukan, dan perbuatan dari paksaan
pihak lain kepadanya”. Artinya Allah menggugurkan taklif (beban hukum) dari
perbuatan ayng dipaksa pihak lain, dan tidak sah ikrar karena suatu paksaan, bahkan
Allah menganggap suatu yang tidak berarti apabila seorang berikrar bahwa dia
kafir, kalau ikrar itu karena pekasaan pihak lain, yang disertai dengan
tuma’ninah beriman kepada Allah di dalam hatinat. Allah berfirman: “Kecuali
orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap tuma’ninah dengan keimanan” (an Nahl:
106).
(51) Dasarnya adalah firman Allah ta’alaa: “Mereka
enggan menolong dengan barang yang bermanfaat” (al Ma’un:7). Maksudnya adalah
barang yang bisa dipinjam antar tetangga, sebagaimana ditafsirkan oleh Jumhur
Ulama’. Hadits riwayat al Bukhary (2484) dan Muslim (2307), bahwasanya Nabi
saw. meminjam seekor kuda dari Abi Tholhah ra. kemudian beliau menaikinya.
(52) Yang paling benar bahwa bisa juga dipinjamkan sesuatu yang manfaatnya adalah bendanya itu sendiri,
misalnya meminjam sebatang pohon untuk dimakan buahnya, tetapi tidak sah
peminjaman tersebut apabila akan merusakkan barangnya selama pamakaian,
misalnya meminjam lilin untuk penerangan malam, dan sebagainya.
(53) Hadits riwayat Abu Dawud (3562), bahwasanya
Nabi saw. meminjam beberapa baju perang (baju besi) kepada Shofwan bin Umayyah pada hari peperangan Hunain, maka
dia bertanya kepada beliau: Apakah ini suatu ghoshob (pemakaian tanpa
izin) wahai Muhammad? Beliau menjawab: “Tidak, tetapi suatu peminjaman yang
disertai jaminan”.
(54) Berdasarkan hadits Abu Dawud (3562), dan at
Tirmidzy (1266), dari Samuroh ra., dari nabi saw. beliau bersabda: “Tanggung
jawab tangan, apa saja yang diambil sampai dikembalikan”. Ghoshob adalah
perbuatan dosa besar, dasar keharamannya bayak ayat-ayat al Qur’an, antara lain
firman Allah Ta’alaa: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebgian yang
lain di antara kamu dengan cara batil (al Baqoroh: 188). Dan banyak hadits, antara
lain: Sabda Rasulullah saw. di dalam khotbah beliau di Mina: “Sesungguhnya
darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu hukumnya haram untuk kamu langgar,
seperti keharaman pada hari ini, di negerimu ini”, diriwayatkan oleh al Bukhary
(perhatikan: 67?) dan Muslim (1218), dan lainnya.
(55) Dasarnya adalah hadits riwayat al Bukhary
(2138), dan Muslim (1608), dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw.
memutuskan dengan hak syuf’ah terhadap harta yang tidak/belum dibagi. Menurut
Muslim: Tentang tanah, rumah, atau kebun. Apabila ada pembatas, atau dipisahkan
dengan jalan, maka tidak ada hak syuf’ah.
(56) Hadits riwayat Ibnu Majah (2500), dari Ibnu
Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Syuf’ah itu seperti lepasnya
ikatan”. Artinya: hak syuf’ah akan hilang apabila tidak segera diusahakan untuk
mendapatkannya, sebagaimana hilangnya seekor onta yang binal ketika lepas
ikatannya, karena tidak segera diusahakan.
(58) Dinamakan juga dengan “mudlorobah”,
dasarnya adalah kesepakatan ulama’ serta
amalan para sahabat ra. Dalam
kitab Taklimatul Majmuk: XIV/191. Ibnul Mundzir menyatakan: Ahli Ilmu sepakat
atas diperbolehkannya mudlorobah dalam segala hal. As Shon’anie menyatakan:
Tidak ada perbedaan pendapat antara ummat Islam terhadap diperbolehkannya
qirodl, bahwa qirodl itu berasal sejak zaman Jahiliyah kemudian ditetapkan di
dalam Islam. Perbuatan itu dinukil dari banyak sahabat, antara lain Umar dan
anaknya yakni Abdullah bin Umar, Utsman bin Affan ra. Perhatikan dalam kitab al
Muwathok Kiatb al Qirodl:(II/687).
(60) Artinya mereka melampaui batas, atau semangat
kerjanya menurun, tidak sesuai dengan ketentuan ayng berlaku.
(61) Dasar hukum kerjasama ini adalah hadits
riwayat al Bukhary (2203) dan Muslim (1551), dari Ibnu Umar ra. bahwasanya
Rasulullah saw.memberikan kepada orang khoibar separoh dari ahsil kerjasama ini
berupa buah-buahan atau hasil pertanian. Di dalam riwayat Muslim: Belia
menyerahkan kepada orang Yahudi Khoibar berupa sebidang kebun kurma, untuk
diusahakan dengan biaya mereka sendiri, dan bagi Rasulullah separoh dari
penghasilannya. Kerjasama ini berdasarkan nash berlaku untuk kebun kurma, tetapi
untuk tanaman aggur dapat diqiyaskan dengan kebun kurma, dapat pula untuk
pertanian, apabila dianggap itu sebagai pepohonan, sebagaimana dijelaskan dalam
ahdits.
(62) Dalil tenatng disyari’atkannya adalah:
ayat-ayat al Qur’an, antara lain: firman Allah Ta’alaa: “Jika mereka menyusukan
anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya” (at Tholaq:6). Dan
banyak hadits, antara lain hadits riwayat al bukhary (2150), dari Abi Hurairoh
ra. dari Nabi saw. beliau bersabda:
Allah Ta’alaa berfirman: “Ada tiga golongan, di mana Aku memusuhi mereka
nanti pada hari qiyamat: laik-laki yang berjanji kepada-Ku lalu dia
mengingkarinya, laki-laki yang menjual budaknya ayng sudah merdeka, kemudian
dimakan hasil penjualannya, dan laki-laki yang mempekerjakan orang, kemudian
pekerja tersebut meminta upah kerjanya, dia tidak memberikan upah tersebut”.
Hadits riwayat al Bukhary (2159), dan Muslim (1202), dari Ibnu Abbas ra. ia
berkata: Nabi saw. berbekam, dan beliau memberikan upah kepada tukang bekam,
kalau beliau tahu bahwa hal itu diharamkan niscaya beliau tidak memberinya.
(63) Dalil disyari’atkannya ahl itu adalah hadits
riwayat al Bukhary (2156), dan Muslim (2201), dari Abi Sa’id al Khudry ra.,
bahwasanya serombongan sahabat Nabi saw.
bertamu kepada suatu kaum, tetapi mereka enggan menerima mereka sebagai tamu
mereka, kebetulan pemimpin mereka digigit seekor ular berbisa, maka salah
seorang di antara sahabat berusaha menyembuhkannya dengan surat al Fatihah
dengan imbalan sepotong daging kambing, Maka ternyata dia sembuh dan mereka
mengambil upah mereka. Kemudian mereka memberitahukan kepada Rasululah saw.,
maka beliau bersabda: “Kamu betul sekali, bagilah upahnya, dan pukulah mereka
untukku dengan panah yang ada padamu”, ini ringkasan sebuah ahdits.
(64) Ini yang dinamakan dengan muzaro’ah, pada
dasarnya tidak diperbolehkan, berdasarkan hadits riwayat al Bukhary (2214) dan
Muslim (1548), dengan lafadh Muslim, dari Rofi’ bin Khodij ra. ia berkata: Kami
membajak (menggarap) sebidang tanah di zaman Rasulullah saw. kami mendapatkan
sepertiga atau seperempat hasil pertanian tersebut, atau bahan makanan
tertentu, kemudian pada suatu hari datang kepadaku seorang laki-laki dari Amumatie ia berkata: Rasulullah saw.
melarang kami dari hal-hal yang bermanfaat bagi kami. Kelembutan/kebaikan Allah
dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kita, beliau melarang kita untuk menggarap
tanah, lalu diberi upah sepertiga atau seperempat, atau bahan makanan tertentu,
dan beliau memerintahkan agar pemilik tanah mengusahakan pertanian tersebut sendiri
atau mengupah orang lain, dengan upah yang lain dari itu. Artinya dapat diupah
dengan hasil pertanian dimaksud.
(65) Hadits riwayat Muslim (1549), dari Tsabit
ibnud Dluhak ra., bahwasanya Rasulullah saw. melarang muzaro’ah, dan
memerintahkan memberlakukan sistim upah, dan beliau bersabda: “Tidak ada
masalah dengannya”.
(66) Hadits riwayat al Bukhary (2210), dari A’isyah
ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang membangun bumi (membuka
lahan) yang tidak dimiliki oleh seorangpun, maka dia yang paling berhak”.
Artinya dia lebih berhak dibanding dengan orang lain. Dia mebangun dengan
membuka pertanian atau mendirikan bangunan. Menurut riwayat al Bukhary secara
muallaq (1346): “Tidak dalam kepemilikan orang Islam”.
(67) Hadits riwayat al Bukhary (2230), dan Muslim
(107), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tiga
golongan tidak akan diperhatikan oleh Allah nanti pada hari qiyamat dan tidak
disucikan dari dosa, bagi mereka siksa yang amat pedih: lelaki yang mempunyai kelebihan
air di jalanan, tetapi dia tidak mau memberikan kepada ibnus sabiil
(musafir)….” Hadits riwayat Muslim (1565), dari Jabir ra. ia berkata:
Rasulullah saw. melarangmenjual kelebihan air,
(69) Artinya benda yang diwaqofkan atau jenisnya
berada ketika ikrar waqof dilaksanakan, dan jenisnya bukan dari sesuatu yang
terputus, kecuali apabila diketahui dari sisi lain tidak terputus, seperti
halnya mewaqofkan kepada anaknya, lalu diteruskan oleh orang-orang fakir
sesudahnya.
(71) Dasar dari waqof, adalah hadits riwayat al
Bukhary (2586), dan Muslim (1632), dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Umar Ibnul
Khaothob ra. mengambil sebidang tanah di daerah Khoibar, maka dia datang kepada
Nabi saw. untuk bermusyawarh dengan beliau tenatng tanah tersebut. Umar
berkata: Wahai Rasulullah, saya mengambil (memiliki) tanah di daerah Khoibar,
saya tidak mengambil harta sama sekali ayng lebih menarik hati saya selain
atnah tersebut, maka apakah perintah tuan terhadapnya? Beliau menjawab:
“Apabila engkau mau waqofkanlah tanah itu dan bersedekahlah dengannya”. Ibnu
Umar berkata: Maka umar menyedekahkan tanah tersebut, bahwa dia tidak
menjualnya, atau menghibahkannya atau mewariskannya, dia menyedekahkan kepada
fakir miskin terdekat, para budak, fii sabilillah, ibnus sabill, dan para tamu,
dan tidak ada dosa bagi pengelola untuk memakannya dengan cara yang baik dan
memberi makan keluarganya, selain orang ayng berharta. Sungguh Islam
menganjurkan umatnya untuk berwaqof, dalil yang menunjukkan demikian adalah
hadits riwayat Muslim (1631), dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah
saw.bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya,
kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak yang sholeh
yang selalu mendoakan kepadanya”. Ulama membawa sedekah jariyah ini ke arah
waqof.
(72) Dasar disyari’atkannya hibah adalah firman
Allah Ta’alaa: “Berilah maskawin kepada wanita ayng kamu nikahi sebagai pemberian
yang difardlukan, kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan
yang halal dan baik akibatnya” (an
Nisak: 4). Hadits riwayat al Bukhary (2437), dan Muslim (1077), dengan lafadh
Muslim, dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw.: Apabila disajikan kepada
beliau makanan, maka beliau bertanya tenatng makanan itu: apabila dinyatakan
sebagai hadiah, maka beliau berkenan memakannya, tetapi bila dikatakan itu
sebagai sedekah, maka beliau tidak memakannya.
(73) Artinya pisik benda dimaksud tidak keluar dari
kepemilikan yang memberi hibah dan masuk menjadi milik yang diberi hibah
sebelum diserahterimakan kepada penerima hibah, yang memberi hibah berhak
menarik hibahnya sebelum dipegang tangan penerima hibah. Dasarnya hadits
riwayat al Hakim dan dinyatakan shohih: Bahwasanya Nabi saw. menghibahkan
kepada Najasyie minyak wangi, tetapi an Najasyie meninggal dunia sebelum hibah
itu sampai ke tangannya, maka beliau membagikannya kepada para isteri beliau.
(an Nihayah).
(74) Hadits riwayat al Bukahry (2449), dan Muslim
(1622), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
menarik kembali hibahnya, seperti anjing yang sudah muntah, lalu menjilat
kembali muntahannya”. Dan ahdits riwayat Abu Dawud (3539), dan at Tirmidzy
(2133), dinyatakan hadits hasan shohih, dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra., dari
Nabi saw. beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang lelaki yang memberikan
sesuatu pemberian atau menghibahkan sesuatu hibah lalu menariknya kembali,
keculai orang tua yang memberi hibah kepada anaknya”.
(75) "العُمْرَى" adalah
apabila seorang menyatakan: Saya memberikan tempat tinggal kepadamu di area
kebun ini” atau “saya serahkan menjadi hakmu selama engkau masih hidup, apabila
engkau mati, maka kembali lagi kepadaku”. Sedangkan "الرُّقْبَى" adalah
apabila seorang menyatakan: Saya serahkan sesuatu ini kepadamu, apabila engkau
meninggal lebih dulu, maka kembali kepada saya lagi, apabila aku meninggal
lebih dulu, maka tetap menjadi hak milikmu.Hadits riwayat Muslim (1625), dari
Jabir ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang memberikan umraa
kepada seseorang dan pelanjutnya, dengan pernyataan: Saya serahkan kepadamu dan
generasi sesudahmu, maka orang yang diberi dan pelanjutnya tidak berkewajiban
mengembalikan kepada pemilik asalnya, oleh karena dia memberi sesuatu yang
menjadi harta yang bisa diwaris”. Atau sudah termasuk harta yang dapat diwaris,
dan tetap menjadi hak ahli waris. Dan diriwayatkan oleh Abu dawud (3558) dan at
Tirmidzy (1351), dinyatakan hadits hasan, dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah
saw. bersabda: “Umraa itu diperbolehkan ditujukan kepada keluarganya
sendiri, begitu pula ar roqbaa untuk kaluarganya sendiri”.
(76) Dasar disyari’atkannya luqothoh serta
hukumnya, adalah banyak ahdits Nabi saw. antara lain: hadits riwayat al Bukahry
(2296), dan Muslim ( 1722), dari Zaid bin Kholid al Jahnie ra., bahwasanya Nabi
saw.ditanya tenatng luqothoh, baik berupa emas atau perak. Beliau menajwab:
“Ketahui ikatan talinya, wadahnya, lalu umumkan selama satu tahun, apabila
tidak kamu temukan pemiliknya, maka milikilah barang itu, dan itu sebagai
titipan padamu, apabila pada suatu ketika pemiliknya datang dan memintanya,
maka serahkanlah kepadanya”. Dalam hadits riwayat al bukahry (2294) dan Muslim
( 1723), dari Ubai bin Ka’ab ra., maka beliau bersabda: “Ketahuilah jumlahnya,
talinya, wadahnya, apabila datang pemiliknya, apabila tidak, maka bergembiralah
dengan benda itu”.
(77) Terdapat dalam hadits Zaid bin Kholid ra., dan
dia bertanya tenatng onta yang hilang? Maka beliau menajwab: “Bukan milikmu,
dan milik dia, biarkanlah dia, sesungguhnya besertanya ada sepatunya, ada
persediaan air munumnya, dia bisa minum air dan memakan pepohonan, sampai ditemukan
oleh pemiliknya”. Dia juga bertanya tentang kambing? Beliau menjawab: “Ambillah
ia, sesungguhnya itu milikmu, atau akan diambil saudaramu, atau akan dimakan
serigala”.
(78) Menjaga agar anak tersebut tidak mengalami
bahaya (kerusakan), dan memberi keselamatan jiwa sebagaimana yang difirmankan
Allah Ta’alaa: “Barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang, maka
seolah-oleh dia telah memelihara kehidupan semua manusia” (al Maidah: 32).
(79) Oleh karena Umar ra. bermusyawarah dengan para
sahabat tentang nafkah hidup anak temuan, mereka sepakat bahwa diambilkan dari
baitul maal. (Kitab al Mughnie: II/421).
(80) Dasar disyari’atkannya adalah ayat-ayat al
Qur’an, antara lain: firman Allah Ta’alaa: “Apabila sebagian kamu mempercayai
kepada sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya” (al Baqoroh: 283). Dan banyak hadits, antara lain hadits riwayat Abu
Dawud (3535), dan at Tirmidzy (1264), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tunaikanlah amanat
kepada orang yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati
orang yang telah mengkhianatimu”.
Welcome bonus: 100% up to €100 + 20 free spins - ChoGiocasino
ReplyDeleteWelcome choegocasino Bonus: 100% up 바카라 to €100 + 20 free spins. Casino Name: casino.guru. Minimum deposit: €10. Valid for casinos: all-new 메리트 카지노 주소 players.