Terjemah Kitab Tadzhiib BAB AS SHOIDI WADZ DZABAIH (PERBURUAN DAN PENYEMBELIHAN)
KITAB AS SHOIDI WADZ DZABAIH
(PERBURUAN DAN PENYEMBELIHAN)
Hewan yang dapat disembelih(1)
maka penyembelihannya pada bagian antara halaq dan labah,(2) hewan yang tidak dapat ditangkap
untuk disembelih, maka penyembelihannya dengan jalan melukai hewan tersebut di
bagian mana saja.(3)
Sempurnanya penyembelihan itu ada empat hal:
memotong kerongkongan (jalan nafas), tenggorokan (jalan makanan)
dan dua urat darah.(4) Sudah dianggap cukup
apabila sudah memotong: kerongkongan dan tenggorokan.(5)
Diperbolehkan berburu menggunakan hewan jariihah
(pemburu) yang sudah terdidik, dari hewan buas atau burung pemburu.(6)
Sebagai syarat binatang pemburu yang terlatih ada
empat: (a) apabila dilepaskan (diperintah) untuk memburu hewan buruan dia langSung
mengejarnya, (b) apabila diperintah untuk berhenti dia langsung berhenti,(7) (c) apabila membunuh hewan dia tidak
memakannya sedikitpun, (d) dan sikap demikian itu dilakukan berulang-ulang.(8) Apabila salah satu syarat tersebut
tidak terpeNuhi, maka tidak halal hasil tangkapan hewan pemburu tersebut,
kecuali apabila didapati masih dalam keadaan hidup, kemudian disembelih.(9)
Diperbolehkan melakukan penyembelihan menggunakan
alat apa saja yAng dapat melukai hewan yang disemnbelih, kecuali dengan gigi
dan kuku.(10)
Dihalkan hasil sembelihan semua orang Islam dan
orang ahli kitab,(11) dan
tidak halal sembelihan orangf Majusi dan watsanie (penyembah berhala).(12)
Penyembelihan janin mengikuti sembelihan induknya,
kecuali bila didapati dalam keadaan hidup, maka harus disembelih.(13)
Apa saja yang dipotong dari organ hewan yang masih
hidup, maka dianggap sebagai bangkai,(14)
kecuali bulu yang dapat dimanfaatkan untuk permadani atau pakaian.(15)
(Fasal): Setiap hewan yang dianggap baik oleh orang
Arab, adalah halal, kecuali apabila ada penjelasan dari syra’ tentang
keharamannya, dan semua hewan yang dianggap jelek oleh orang Arab,(16) adalah haram, kecuali bila ada
penjelasan dari syara’ kehalalannya.(17)
Diharamkan
binatang buas yang memiliki taring yang kuat untuk menyerang musuhnya,(18)
dan diharamkan pula bangsa burung yang memiliki cakar yang kua untuk melukia
mangsanya.(19)
Dihalalkan bagi orang yang dalam keadaan dlarurat (terpaksa)
dalam keadaan sangat lapar: untuk memakan bangkai yang diharamkan, untuk
menutup kebutuhan mempertahankan nafas-nafas terakhir.(20)
Bagi kita ada dua macam bangkai yang dihalalkan:
yakni: ikan, dan belalang, dan dua macam darah yakni: hati dan limpa.(21)
(Fasal): Udlhiyah (kurban)(22) hukumnya sunnat muakkad:(23) cukup dengan seekor kambing domba berumur
satu tahun lebih,(24) atau
kambing bandot umur dua tahun lebih. Atau Onta umur dua tahun lebih, atau sapi
umur dua tahun lebih.(25) Dan
dianggap cukup seekor onta untuk kurban dari tujuh orang, begitu pula seekor
sapi untuk kurban dari tujuh orang, dan seekor kambing untuk kurban dari satu
orang.(26)
(Fasal): Empat keadaan hewan tidak mencukupi untuk
berkurban: matanya juling yang sangat jelas, pincang yang sangat berat, sakit
sangat jelas sakitnya, kurus dan sudah hilang lemaknya karena sangat kurusnya.(27)
Dan diperbolehkan hewan yang hilang kedua pelernya,(28) atau pecah tanduknya.
Tidak diperbolehkan untuk berkurban hewan yang
terpotong daun telinganya atau ekornya.(29)
Waktu penyembelihan hewan kurban: mulai waktu sholat
Ied,(30) sampai terbenamnya matahari pada
akhir hari tasyriq.(31)
Disunnatkan ketika penyembelihan lima hal: membaca
Basamalah, membaca sholawat Nabi saw., menghadap ke arah qiblat, membaca
takbir, membaca do’a agar dikabulkan oleh Allah.(32)
Tidak diperbolehkan memakan daging sedikitpun dari
kurban yang dinadzarkan,(33) dan
diperbolehkan ikut makan daging kurban yang sunnat.(34) Dan tidak boleh menjual sedikitpun
dari hewan kurban,(35) daging
hewan kurban diberikan kepada fakir dan miskin.(36)
(Fasal): Aqiqoh itu hukumnya sunnat, yakni
penyembelihan hewan sebab kelahiran anak pada hari ketujuh.(37) Untuk anak laki-laki disembelih dua
ekor kambing, dan untuk wanita seekor kambing, dan untuk memberi makan kepada
orang fakir miskin.(38)
KITAB AS SABAQI WAR RAMYI
(LOMBA
PACU DAN TEPAT SASARAN)
Diperbolehkan lomba pacu untuk hewan piaraan dan
lomba tepat sasaran dengan panah:(1)
apabila jaraknya ditentukan,(2)
dengan tatacara lomba tepat sasaran yang tertentu.(3)
Dan mengeluarkan jaminan (hadiah)(4) oleh salah seorang dari peserta,
sehingga apabila orang yang mengeluarkan hadiah menang lomba, maka benda hadiah
tersebut kembali kepadanya, dana apabila kalah, maka benda hadiah tersebut
menjadi hak pemenangnya. Apabila kedua orang peserta lomba sama-sama
mengeluarkan benda untuk hadiah, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan,(5) kecuali bila memasukkan peserta lain
sebagai muhallil (penghalal),(6)
apabila orang ketiga tersebut menang dia berhak mengambil hadiahnya,(7) apabila orang ketiga kalah, dia tidak
merugi.
KITAB AL AIMAN WAN NUDZUR
(SUMPAH
DAN NADZAR)
Sumpah itu tidak sah, kecuali dengan nama Allah
Ta’alaa, atau dengan salah satu nama dari nama-nama-Nya, atau dengan salah satu
sifat dari sifat-sifat-Nya.(1)
Barang siapa yang bersumpah untuk mnyedekahkan
hartanya,(2) maka dia diberi hak
memilih antara menyedekahkan hartanya,(3)
atau dia membayar kafarat sumpahnya.(4)
Dan tidak berarti apa-apa sumpah yang lagho (main-main).(5)
Barang siapa yang bersumpah, bahwa dia tidak akan
melakukan sesuatu, kemudian dia menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu
tersebut, maka dia tidak melanggar sumpahnya,(6)
dan barang siapa bersumpah tidak akan melakukan dua hal, kemudian dia melakukan
salah satu dari dua hal tersebut, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah.(7)
Kafarat sumpah(8)
dia boleh memilih antara tiga macam alternatif: (a) memerdekakan budak yang
mukmin, atau (b) memberi makan kepada sepuluh orang miskin masing-masing satu
mud, atau pakaian masing-masing satu baju, atau (c) bila tidak mampu, maka
berpuasa selama tiga hari.(9)
(Fasal): Nadzar itu menjadi wajib sebagai imbalan
(kompensasi) atas keberhasilan suatu perbuatan, baik yang mubah atau ibadah,(10) misalnya seorang menyatakan:
“Apabila Allah menyembuhkan saya dari sakit, maka hak Allah berada pada saya,
yakni saya akan akan melakukan sholat, atau puasa, atau bersedekah. Dan wajib
bagi dia untuk melakukan jenis perbuatan yang diucapkan.(11)
Tidak
diperbolehkan bernadzar dalam hal perbuatan ma’siyat, misalnya orang
menyatakan: Apabila saya dapat membunuh si Fulan, maka hak Allah pada saya
demikian”.(12) Dan tidak shah (tidak
wajib dipenuhi) nadzar akan meninggalkan perbuatan mubah, seperti
pernyataan: “Saya tidak makan daging dan tidak minum susu”, dan yang
sejenisnya.(13)
KITAB AL AQDLIYAH WAS SYAHADAAT
(PERDILAN
DAN PERSAKSIAN)(1)
Tidak diperbolehkan memegang kekuasaan peradilan,(2) kecuali bagi orang yang dirinya memiliki lima belas macam syarat:
Islam,(3) sudah balgh, berakal sehat, merdeka,(4) laki-laki,(5) adil,(6)
mengetahui hukum-hukum dari al Qur’an dan hadits,(7) mengetahui hukum-hukum hasil ijmak
(kesepakatan ummat),(8)
mengetahui perbedaan ulama di kalangan ummat islam,(9) mengetahui jalan atau prosedur
berijtihad yang benar,(10)
mengetahui atau menguasai seluk beluk bahasa Arab,(11) mengetahui tafsir Kitabulllah
Ta’alaa,(12) hakim itu harus baik
pendengarannya, baik penglihatannya, dan mampu baca tulis, dan dalam keadaan
sadar (jaga).(13)
Disunnatkan hakim duduk (bedomicili) di tengah kota,
di tempat yang tampak dan mudah diketahui banyak orang(14) dan tidak terdinding (terhalang)
oleh sesuatu.(15) Dan ketika
melaksanakan tugas peradilan hakim tidak duduk di dalam masjid.(16)
Bersikap sama terhadap dua pihak yang berperkara
dalam tiga hal: tempat duduk, ungkapan bertutur bahasa, dan perhatian.(17)
Hakim pada saat mengadili hendaknya menjauhi sepuluh
hal: ketika sedang marah, lapar, haus, ketika timbul syahwat yang kuat,(19) suasana sedih, gembira yang melampaui batas, keadaan sakit, pada saat
menahan dua hadats (kebelet),(20) sedang ngantuk, kondisi
udara sangat panas atau sangat dingin.(21)
Tidak diperbolehkan bertanya kepada tertuduh sebelum
sempurnanya tuduhan,(22) dan tidak boleh
menyumpahnya sebelum ada permintaan dari penuduh.(23) Dan tidak boleh mendektekan suatu alasan (argumentasi) kepada salah
satu pihak berperkara, atau memberikan pemahaman suatu kalimat.(24) Dan tidak boleh mempersulit para saksi. (25)
Tidak diterima persaksian seseorang keculai dia
benar-benar adil,(26) tidak dapat diterima
kesaksian musuh terhadap lawannya, dan tidak dapat diterima pula persaksian orang tua terhadap anaknya,
atau anak terhadap orang tuanya.(27)
Tidak dapat diterima surat dari seorang hakim kepada
hakim lainnya dalam hal ketetapan hukum, kecuali sesudah disaksikan oleh dua
orang saksi apa isi dalam surat tersebut.(28)
(Fasal): Untuk petugas pembagi(29) diperlukan memiliki tujuh macam syarat: Islam, sudah baligh, berakal
sehat, merdeka, laki-laki, adil, dan pandai berhitung.(30) Apabila masing-masing pihak saling rela terhadap orang yang akan
diberi hak membagi, maka tidak diperlukan persyaratan tersebut.(31)
Apabila di dalam pembagian tersebut diperlukan
adanya penaksiran harga, maka tidak boleh kurang dari dua orang petugas
penaksir.(32)
Apabila salah seorang anggota persekutuan meminta
bagiannya dengan tanpa menimbulkan kesulitan,(33) maka pihak yang lain wajib mengabulkannya.(34)
(Fasal): Apabila bersama penuduh ada bayyinah
(saksi),(35) maka hakim wajib mengdengarnya dan menetapkan hukum
berdasarkan keterangan saksi, apabila tidak memiliki saksi, maka hak bebicara
diberikan kepada tertuduh disertai dengan sumpah, apabila tertuduh tidak berani
bersumpah, maka dikembalikan kepada penuduh, dan apabila penuduh berani
bersumpah, maka penuduh berhak atas tuntutannya.(36)
(Fasal): Apabila ada dua orang sama-sama mengakui
satu benda adalah miliknya, sedang benda tersebut berada pada salah satu pihak
yang berebut, maka yang dimenangkan adalah pengakuan pihak shohibul yad (pemegang
benda), disertai dengan sumpah.(37) Apabila benda itu berada di
tangan kedua belah pihak, maka kedua belah pihak diminta untuk bersumpah.(38)
Barang siapa yang bersumpah atas perbuatannya
sendiri, berarti dia bersumpah dengan pasti,(39) dan barang siapa yang bersumpah atas perbuatan orang lain: apabila
benar-benar terjadi, maka sumpahnya harus dengan pasti,(40) apabila tidak terjadi, maka sumpah harus menyatakan bahwa dia tidak
tahu.(41)
(Fasal): Tidak dapat diterima saksi, kecuali orang
yang memenuhi lima macam syarat: Islam, sudah baligh, berakal sehat, merdeka,
dan adil.(42)
Adil itu ada lima macam syarat: senantiasa menjauhi
dosa besar, tidak membiasakan berbuat dosa kecil walaupn sedikit, hatinya
selamat, tetap terpercaya walaupun sedang marah, dan menjaga keperwiraan atau
sikap kesatria.(43)
(Fasal): Hak itu ada dua macam: (a) hak Allah
Ta’alaa, dan (b) hak adamie (sesama manusia). Adapun hak adamie ada tiga
kategori:
Pertama: Tidak dapat diterima di dalamnya, kacuali
dengan dua orang saksi laki-laki semua, yakni hak yang tidak berkaitan dengan
harta, dan diketahui oleh kaumm lelaki.(44)
Kedua: Dapat diterima dengan dua orang saksi laki-laki,
atau seorang saksi laki-laki dan dua orang wanita, atau seorang saksi laki-laki
dengan dperkuat oleh sumpah dari penuduh, yakni dalam perkara yang bersangkut
paut dengan harta.(45)
Ketiga: Dapat diterima dua orang saksi laki-laki, atau
seorang laki-laki dan dua orang wanita, atau empat orang wanita, yakni dalam
urusan yang tidak diketahui oleh kaum lelaki.(46)
Adapun hak Allah Ta’alaa, maka tidak dapat diterima
persaksian wanita,(47) dalam hal ini ada tiga
kategori:
Pertama: Tidak dapat diterima persaksian kurang dari
empat orang laki-laki, yakni dalam urusan perzinaan.(48)
Ketiga: Dapat diterima satu orang saksi saja, yakni
tentang hilal (bulan sabit)
awal bulan Romadlon.(50)
Tidak dapat diterima persaksian seorang buta,
kecuali dalam lima hal: kematian, nasab (keturunan), kepemilikan secara mutlak,(51) terjemahan dalam bahasa,(52) dan apa yang disaksikan
sebelum dia buta,(53) dan yang sudah
dihafalkannya (dipegangnya).(54)
Tidak dapat diterima persaksian seorang terhadap
perkara yang mengharapkan memberikan manfaat pada dirinya sendiri, dan tidak
pula persaksian orang yang berusaha menolak bahaya (kesulitan).(55)
KITAB AL ITHQI
Dianggap shah memerdekakan budak miliknya, oleh
pemiliknya yang berhak membelanjakan harta bendanya.(2)
Memerdekakan
budak itu berlaku menggunakan kalimat jelas atau kinayah (kalimat tidak
terang-terangan)(3)
Apabila memerdekakan sebagian dari seorang budak,
maka berarti dia merdeka secara keseluruhan. Apabila seorang anggota
persekutuannya memerdekakan sebagian budak milik bersama (dua orang),
sedang dia dalam keadaan kaya, maka berlaku kemerdekaan itu untuk sisanya, dia
wajib membayar harga yang menjadi hak teman serikatnya.(4)
Barang siapa yang memiliki budak, budak adalah salah
seorang dari orang tuanya, atau anaknya, maka dia memerdekakannya dari
perbudakan.(5)
(Fasal): Walak adalah hak bagi orang
yang telah memerdekakan.(6) Hukumnya sebagai ashobah,
bila tidak ada ashobah di sisinya.(7) Hak walak itu bisa
dipindahkan kepada ahli waris orang yang memerdekakannya dari kaum lelaki
sebagai ashobah.(8) Tata urutan ashobah dalam
walak sama dengan tata urutan ashobah menurut nasab dalam waris.(9) Walak itu tidak boleh diperjual belikan dan tidak boleh pula
dihibahkan.(10)
(Fasal): Barang siapa yang menyatakan kepada
budaknya: “apabila saya sudah mati, maka engkau merdeka”, maka dia
(budak) dinamakan mudabbar.(11) Dia merdeka setelah tuannya
mati, dengan nilai sepertiga dari harta peninggalannya.(12) Dan diperbolehkan bagi pemilik menjualnya pada saat ia masih hidup,
dan gugurlah janji untuk menjadikannya mudabbar.(13) Mudabbar itu hukumnya masih sebagai budak selama tuannya masih hidup.(14)
(Fasal): Kitabah hukumnya sunnat: apabila hal
itu diminta oleh budak. Dan kondisi budak itu terpercaya dan mampu bekerja.(15) Dan tidak shah akad kitabah itu kecuali dengan imbalan harta yang
ditentukan, dapat dilaksanakan dengan cara mengansur dengan waktu angsuran
yang ditentukan, paling sedikit dua kali
angsunran.(16)
Akad kitabah itu ditinjau dari pihak tuan (pemilik
budak) hukumnya tetap (tidak bisa diralat), sedangkan dari pihak mukatab,
hukumnya jaiz (bebas), ia boleh membatalkannya kapan saja dia mau.(17) Bagi mukatab diberikan hak untuk mengelola harta yang ada ditangannya.
Wajib bagi tuannya untuk menyimpan harta mukatab,
agar mukatab mampu membayar angsuran akad kitabahnya.(18) Mukatab tidak bisa merdeka kecuali setelah melunasi seluruh angsuran
yang harus dibayar.(19)
(Fasal): Apabila seorang tuan (pemilik) menyetubuhi
amatnya (budak wanita), lalu hamil secara jelas janin sudah berbetuk manusia,
maka haram bagi tuannya untuk menjual, mengadaikan atau menghibahkannya. Dia
hanya diperbolehkan memperlakukannya sebagai pelayan dan untuk disetubuhi.
Apabila tuan mati, maka amat tersebut menjadi merdeka diperhitungkan dari
harta peninggalan kotor sebelum dipergunakan membayar hutang
dan menunaikan wasiyat.(20) Dan anak-anaknya yang dari
bapak lain akan berstatus sama dengan kedudukannya (merdeka).(21)
Barang siapa yang menyetubuhi amat orang lain tanpa
melalui pernikahan yang shah, maka anak dari amat tersebut tetap menajdi budak
pemiliknya,(22) apabila persetubuhan itu
terjadi karena syubhat,(23) maka anak yang dilahirkan
amat orang lain itu menjadi merdeka, dan orang yang menyetubuhinya wajib
membayar uang pengganti kepada tuan amat yang melahirkannya. Apabila seorang
memiliki amat yang sudah dicerai sesudah itu,(24) maka amat tersebut tidak menjadi ummul walad karena persetubuhan dalam
ikatan pernikahan. Dan bisa menjadi ummul walad baginya dengan persetubuhan yang
syubhat, menurut salah satu dari dua pendapat.(25) Wallaahu a’lam.(26)
الحمد
لله رب العالمين.
Malang, Jum’at : 10 Januari
2006/10 Dzulhijjah 1427.
Penerjemah,
DRS. H. K U S N A N A.
(1) Dasar disyari’atkannya penyembelihan adalah
firman Allah Ta’alaa: “Kecuali yang sempat kamu sembelih”. (al Maidah: 3).
Artinya hewan yang kamu dapatkan dalam keadaan hidup, dan kamu sembelih, maka
sesungguhnya yang demikian itu halal kamu makan dagingnya. Sedang
disyari’atkannya perburuan adalah firman Allah Ta’alaa: “Apabila kamu sudah
meneyeleasiakan ibadah haji, maka berburulah”. (al Maidah: 2), artinya apabila
kamu sudah bertahallul dari ihrom untuk ibadah haji atau umroh, maka dihalalkan
bagi kamu untuk berburu hewan. Akan dijelaskan dalil-dalilnya di sela-sela
fasal-fasal dalam kitanb ini.
(2) "اَلْحَلَقُ" adalah
bagian di atas leher, sedangkan: "اَللَّبَةُ" adalah bagian di bawah leher, penyembelihan mengenai antara dua
bagian tersebut. Sabda Rasulullah saw.: “Ketahuilah sesungguhnya penyembelihan
itu pada antara halaq dan labah”, diriwayatkan oleh ad Daroquthny
(IV/283), dan al Bukhary secara muallaq dari Ibnu Abbas ra. dalam kitab
Penyembelihan, bab: Nahar dan dzibhi (penyembelihan).
(3) Melukainya dengan luka yang mampu melepaskan
nyawanya, bagian mana saja dari badan hewan dimaksud. Hadits riwayat al Bukahry
(5190), dan Muslim (1968), dari Rofi’ bin Khudaij ra. bahwasanya Rasulullah
saw. mendapatkan ghonimah berupa onta dan kambing. Kemudian ontanya melarikan
diri dan binal, ketika itu tidak kuda yang siap untuk mengejarnya, maka ada
seorang yang memanahnya dan mati, maka Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
untuk hewan ini yang melarikan diri dengan binal bagiakan binalnya binatang
liar, apabila hanya dengan cara demikian, maka perbuatlah terhadapnya seperti
itu”. Dalam riwayat lain: Dan tidak dapat kamu tundukan, maka perbuatlah
terhadap hewan tersebut demikian”.
(4) Memotong keseluruhannya secara sempurna adalah
sunnat hukumnya, oleh karena mempercepat keluarnya nyawa, dan merupakan perbuatan baik terhadap hewan yang di
sembelih. Dalam sebuah hadits: “Makanlah hasil sembelihan yang memotong
urat-urat leher”, atau penyembelihan yang memotong uruq (saluran) atau
memotong keempat-empatnya secara keseluruhan.
(5) Hadits riwayat al Bukhary (2356), dan Muslim
(1868), dari Rofi’ bin Khudaij ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila sudah mengalirkan darah dan di sebutkan nama Allah atasnya, makanlah
dagingnya”. Hadits tersebut menjelaskan bahwa sudah dianggap cukup bila dalam
penyembelihan sudah menumpahkan darah, mangalir dengan kuat, dan sudah memotong
kerongkongan dan tenggorokan dan menumpahkan darah, maka penyembelihan tersebut
sudah shah, oleh karena kehidupan akan terputus dengan memotong keduanya.
(6) Yakni setiap hewan yang memiliki taring,
seperti cheetah dan anjing, dan yang memiliki burung yang memiliki cakar kuat,
seperti burung rajawali dan burung elang. Allah berfirman: “Mereka bertanya
kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu
yang baik-baik dan hasil buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah
kamu latih untuk berburu. Kamu melatihnya sesuai dengan apa yang telah
diajarkan oleh Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkap untukmu,
dan sebutlah nama Allah atas bintang buas itu, dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha cepat perhitungan-Nya”. (al Maidah: 4). Pengertian: "مكلبين" hewan yang sudah terlatih untuk dilepaskan untuk memburu hewan
buruan, diambil dari kosa kata: "الكلب" (anjing) karena kebanyakan hewan yang terlatih adalah anjing.
(7) Pengertian:
"أُرسلت"
dilepas dan dipacu untuk berburu. "استرسلت" dia
cepat berlari memburu, زُجرت" diperintah berhenti, sesuai dengan kode yang dilatihkan, "انزجرت" dia berhenti.
(8) Pengertian berulang-ulang itu dua kali atau
lebih, oleh karena kalau hanya satu kali, boleh jadi hanya kebetulan saja, dan
tidak menunjukkan hasil dari latihan, dan hendaknya berulang-ulang tersebut
diakui oleh orang yang sudah berpengalaman tentang latihan hewan pemburu yang
terlatih.
(9) Dasar dari syarat ini adalah ayat tersebut di
muka, dan banyak hadits, antara lain hadits riwayat al Bukhary (5167), dan
Muslim (1929), dari Addie bin Hatim ra. dari Nabi saw. beliau bersabda:
“Apabila engkau melepaskan anjingmu yang sudah terlatih, dan engkau membaca
Basmalah, kemudian aning itu menangkap heean buruan dan membunuhnya, maka
makanlah dagingnya. Apabila anjing tersebut memakan sebagian hewan buruannya,
maka janganlah engkau makan, karena berarti anjing tersebut berburu untuk
dirinyan sendiri”. Hadits riwayat al Bukahry (5170), dan Msulim (1930), dari
Abi Tsa’labah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Hewan ayng engkau buru
dengan anjingmu yang tidak terlatih, kemudian kamu dan dapat kamu sembelih,
maka makanlah dagingnya”. Artinya kamu dapati dalam keadaan hidup kemudian kamu
sembelih.
(10) Oleh karena penyembelihan yang menggunakan
gigi atau kuku, terkesan menyiksa terhadap hewan, dan pada umumnya hewan akan
berontak. Terdapat di dalam hadits Rafi’ ra. (CK. No: 5): “Kami berharap atau takut terhadap musuh pada suatu pagi hari,
dan kami tidak membawa apa-apa kecuali sebuah pisau, apakah kami boleh menyembelih
menggunakan bambu? Beliau bersabda: “Apa saja yang dapat menumpahkan darah dan
dengan membaca Basamalah dalam penyembelihan itu, maka makanlah dagingnya,
selain menggunakan gigi atau kuku. Dan akan saya jelaskan tenatng hal itu,
adapaun gigi adalah termasuk tulang, sedangkan kuku adalah pisaunya orang
Habsyie. Pengertian kata: "مدى
– مدية" (pisau), "أنهر الدم"
(mengalirakan atau menumpahkan darah dengan banyak, seperti mengalirnya air di
sungai), "فعظم" (tulang, tidak halal hewan disembelih dengan tulang), dan "فمدى
الحبشة" (orang-orang Habsyie
menyembelih hewan menggunakan kuku, mereka itu orang akfir, sungguh kamu
dilrang untuk menyerupai perbuatan mereka).
(11) Yahudi atau Nasrani, berdasarkan firman Allah
Ta’alaa: “Makanan orang yang diberi kitab itu halal bagimu”. (al Maidah: 5).
Yang dimaksudkan dengan makanan di sini adalah hasil sembelihan mereka.
Kehalalan tersebut tidak ada bedanya antara sembelihan orang laki-laki dan
wanita, berdasarkan ijmak ummat Islam.
(12) Seperti penyembah berhala dan lain-lain,
berdasarkan pemahaman dari ayat tersebut di muka yang menjelaskan bahwa tidak
halal sembilihan selain orang Islam dan ahli kitab, oleh karena Rasulullah saw.
telah mengirim surat kepada orang Majusi yang berpindah untuk menawarkaqn Islam
kepada mereka, barang siapa yang masuk Islam merak akan diterima dengan baik,
dan barang siapa yang enggan, maka mereka akan dikani jizyah, di samping itu
tidak halal penyembelihan merkea, dan tidak halal pula wanita mereka dinikahi
ummat islam. Al Baihaqy menyatakan (IX/285), hadits ini mursal, tetapi ulama
sepakat untuk memperkuat hadits tersebut. Disamakan dengan penyembah berhala
dalam hal tidak halal penyembelihannya adalah orang murtad, oleh karena dia
tidak memastikan ke agama mana dia berpidah agama. Juga orang mulhid (atheis),
dia adalah mengingkari semua agama dan mengingkari pula keberadaan Tuhan
pencipta Yang Maha Suci, oleh karena mereka itu tidak memiliki agama, maka
tidak halal sembelihan mereka itu.
(13) Penyembelihan terhadap induknya berarti sudah
termasuk penyembelihan janinnya, kecuali apabila setelah dikeluarkan dari
induknya yang sudah disembelih teryata masih hidup, maka harus disembelih.
Hadits riwayat Abu Dawud (2827), dari Abi Sa’id al Khudry ra. ia berkata: Kami
bertanya kepada Rasulullah saw.tentang penyembeliahan janin, beliau bersabda:
“Makanlah ia bila kamu mau, sesungguhnya penyembelihannya mengikuti
penyembelihan induknya”.
(14) Dihukumi sebagai bangaki dari hewan hidup,
baik hewan itu halal atau tidak, suci atau najis. Apa yang terpotong dari ikan
yang hidup halal, karena bangkai ikan halal dimakan, sebagaimana akan
dijelaskan nanti. Apa yang terpotong dari manusia hukumnya suci sebagaimana
anda telah ketahui, perhatikan: CK. No: 11 Kitab Thoharoh, dan CK. No: 19 (di
bawah). Hadits riwayat al Hakim dan dinyatakan shohih (IV/239), dari Abi Sa’id
al Khudry ra. bahwasanya Rasulullah saw. ditanya tentang potongan punuk onta dan potongan
pantat kambing? Beliau menjawab: “Apa saja yang dipotong dari hewan yang masih
hidup, adalah bangaki”. Hadits riwayat Abu Dawud (2858), dan at Tirmidzy
(1480), lafadh at Tirmidzy, dan dinyatakan hasan, dari Abi Waqid al Laitsie ia
berkata: Nabi saw. tiba di Madinah, mereka memotong punuk onta dan memotong
pantat kambing, beliau bersabda: “Apa yang dipotong dari hewan yang masih
hidup, adalah bangkai”, juga diriwayatkan oleh al Hakim dan dinyatakan shohih
(IV/239).
(15) Dengan syarat: hewan tersebut adalah halal
dimakan dagingnya menurut syara’, dipotong pada saat masih hidup, atau sesudah
disembelih menurut syara’, bukan terpisah dari hewan yang masih hidup dari
tubuhnya. Adapun bulu bangkai hewan selain
bangkai manusia, adalah najis, tidak bisa disucikan, oleh karena tidak
disembelih. Dasar kessucian apa yang disaebutkan di muka adalah firman Allah
Ta’ala: “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal, dan
menjadikan kemah-kemah kamu dari kulit binatang ternak yang kamu rasa lebih ringan untuk membawanya di
waktu kamu berjalan atau diwaktu kamu bermukim, dan dijadikan pula bagimu dari
bulu domba, bulu onta dan bulu kambing sebagai alat rumah tangga dan perhiasan
sampai waktu tertentu”. (an Nahl: 80).
Ayat di atas menunjukkan bahwa diperbolehkannya mempergunakan apa-apa
yang telah disebutkan. Hal itu
menunjukkan bahwa itu semua adalah suci.
Termasuk yang dijelaskan tentang bulu hewan, adalah bulu semua hewan yang halal
di makan dagingnya, seperti bulu burung dan sebangsanya.
(16) Oleh karena orang Arab adalah yang mendapatkan
perintah syara’ pertama, dan di tengah-tengah mereka Nabi saw. diutus, dan
diturunkannya al Qur’an.
(17) Allah Ta’alaa berfirman: “Dan menghalakan abgi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (al
A’rof: 158), dan firman Allah Ta’alaa: “Mereka bertanya kepadamu: Apa saja yang
dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik “. (al
Maidah: 4). Kata: "الطيبات" artinya: apa saja yang menurut jiwa baik dan menarik,
sedangkan: "الخبائث" artinya: apa saja yang dianggap oleh jiwa kotor, dan harus
dijauhi.
(18) Untuk menyergap dan memburu mangsanya
(lawannya), seperti serigala, singa, anjing dan sebagainya.
(19) Hadits riwayat al Bukahry (5210), dan Muslim
(1932), dari Abi Tsa’labah al Khosynie ra., bahwasanya Rasulullah saw. melarang
memakan setiap binatang buas yang memiliki taring”. Hadist riwayat Muslim
(1934), dan lainnya, dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw. melarang
memakan daging binatang yang bertaring, dan burung yang memiliki cakar kuat”. "ناب" :taring
adalah gigi yang tajam untuk menggigit hewan buruannya, "السباع" :
binatang pemburu (buas), "مخلب" : kuku untuk memotong dan merobek kulit hewan mangsanya.
(20) Untuk mempertahankan kekuatan serta
mempertahankan nyawanya, contoh hewan yang haram dalam keadan seperti itu semua
yang haram untuk dikonsumsi. Dasarnya adalah firman Allah Ta’alaa: Diharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama
selain Allah….”. (al Maidah: 3). Dan firman Allah selanjutnya: “Maka barang
siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja untuk berbuat dosa, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (al Maidah: 3).
Pengertian: "أهل لغير الله" : Apa ayng disebutkan nama ketika penyembelihan bukan nama
Allah Ta’alaa, berasal dari kata: "الإهلال" : suara yang keras/tinggi,
"المخمصة" :
sangat lapar ayng dikhawatirkan akan mengalalmi kematian atau sakit berat, "غير متجانف لإثم" :
tidak bermaksud menentang hukum serta sengaja berbuat dosa.
(21) Hadits riwayat Ahmad (II/97) dan lainnya, dari
Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasululah saw. bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua
macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan
belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa”. Diharamkan ikan
yang muncul terapung di permukaan air yang sudah membengkak, karean diduga
keras bangkai ikan tersebut akan menimbulkan penyakit.
(22) Adalah hewan yang disembelih berupa onta,
sapi, atau domba atau kambing bandot pada Iedul adlha, untuk kurban (pendekatan
diri) kepada Allah Azza wa Jala. Diambil dari kata: "الضحوة":
memperpanjang siang hari, di namai dengan permulaan pelaksanaan penyembelihan
yakni dluha.
(23) Dasar dari itu adalah ayat-ayat al Qur’an, di
antaranya firman Allah Ta’alaa: “Maka sholatlah untuk Tuhanmu, dan sembelihlah
kurban” (al Kautsar: 2), artinya sholat Ied dan menyemeblih hewan kurban. Dan
banyak hadits, antara lain: hadits riwayat al Bukhary (5245), dan Msulim
(1966), dari Annas ra. ia berkata: Nabi saw. berkurban dengan dua ekor kambing
kibas yang warnanya dominan putih dan bertanduk, beliau menyembelih
kedua-duanya dengan tangan beliau sendiri, dengan mengucapkan Basmalah dabn
bertakbir, dan beliau meletakkan kaki beliau di dekat leher hewan yang
disembelih.
(24) Kata: "الجذع" : umur
satu tahun lebih, atau yang sudah gugur
gigi depannya (poel kata orang Jawa), "الضأن" :
kambing. Hadits riwayat Ahmad (VI/368), dan at Thobrony, bahwasanya Rasulullah
saw.bersabda: “Berkurbanlah dengan kambing berumur satu tahun lebih, karena itu
sudah mencukupi”. Perhatikan al Jami’us shoghir (II/52 sesuai dengan JS.).
Dan menurut riwayat Ahmad (II/254), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sudah cukup, atau sudah cukup berkurban
dengan seekor kambing jadza’ah”.
(25) Kata: "الثنى من
المعز والبقر" adalah untuk kambing atau sapi
yang sudah berumur dua tahun lebih, untuk onta yang suidah berumur enam tahun
lebih, cukup untuk digunakan sebagai hewan kurban berdasarkan ijmak ulama.
(26) Kata: "البدنة" :
seekor onta, baik jantan atau betina. Hadits riwayat Muslim (1318), dari Jabir
ra. ia berkata: Kami berkurban bersama Rasulullah saw. pada tahun terjadinya
peperangan Hudaibiyah: seekor onta untuk tujuh orang, dan seekor sapi juga
untuk tujuh orang. Dalam riwayat al Bukahry (5228), dari A’isyah ra.:
Rasulullah saw. berkurban untuk isteri-isteri belia dengan seekor sapi. Di
dalam al Muwathok (II/482): Bahwasanya Abu Ayyub al Anshory ra. berkata: Kami
berkurban dengan seekor kambing , ia menyembelihnya untuk dirinya dan
keluarganya, kemudian orang berlomba-lomba untuk berkurban sesudah itu,
sehingga kerban merupakan suatu kebanggaan bagi manusia, bukan dengan maksud
beribadah, hal yang demikian itu tidak perlu ditinggalkan tetapi hendaklah
diperbaharui niyat agar ikhlas semata-mata karena Allah.
(27) Berdasarkan hadits riwayat at Tirmidzy dan
dinyatakan shohih (1497), dan Abu Dawud (2802) lafadh dari padanya, dari al
Barrok bin Azib ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Ada empat yang tidak
boleh digunakan sebagai hewan kurban: matanya juling dan sangat jelas, sakit
yang sangat jelas, pincang yang berat, yang pecah salah satu kakinya – menurut
lafdadh at Tirmidzy: sangat kurus – sehingga tak ada lemaknya”.
(28) Yang hilang dua pelernya (dikebiri) atau
terputus pembuluh darah sehingga tidak ada syahwat bagi manusia atau senggama
bagi hewan. Hadits riwayat al Hakim (IV?227), dari A’isyah dan Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasululah
saw. berkurban dengan dua ekor kibas yang besar warnanya dominan putih
kedua-duanya dikebiri, maka beliau menyembelih kedua-duanta dengan
mengucapkan: "اللهم عن محمد, وأمته, من شهد لك بالتوحيد
وشهد لى بالبلاغ" (Yaa Allah, ini kurban dari
Muhammad, dan dari ummat Muhammad, yang bersaksi kepada-Mu dengan bertauhid,
dan bersaksi kepadaku, dengan tabligh).
(29) Secara keseluruah atau sebagian, karena mengurangi
jumlah daging dan hilangnya sebagian dari tubuh untuk dimakan.
(30) Mulai masuknya waktu sholat Ied, dan
berlangsung selama waktu sholat dan dua khotbah, dan yang afdlol adalah sesudah
sholat Ied dan dua khotbah. Hadits riwayat al Bukahry (5225), dan Muslim
(1961), dari al Barrok bin Azib ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya yang pertama kita lakukan pada hari kita ini adalah sholat, lalu
kita kembali terus menyembelih kurban. Barang siapa yang melakukan seperti itu,
sungguh benar-benar tepat dengan sunnah kami, dan barang siapa yang menyembelih
sebelum itu, maka sesungguhnya itu adalah daging biasa, dan agar diberikan
kepaad keluarganya, tidak termasuk ibadah kurban sedikitpun”. Pengertian hari
kami ini: hari tanggal 10 Dzulhijjah, aykni hari nahar dan hari berkurban
(31) Yakni; tanggal: 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Hadist riwayat Ibnu Hibban (1008), dari Jabir bin Math’am ra. ia berkata:
Rasulullahs aw. Bersabda: “Semua hari tasyriq adalah hari penyembelihan
kurban”.
(32) Allah Ta’alaa berfirman: “Makanlah dari apa
yang diucapkan nama Allah ketika penyembelihan” (al An’am: 118). Dalam hadits
Annas ra.: “Membaca Basmalah dan bertakbir”. Menurut Muslim (1966), bahwasanya
Rasulullah saw. berkurban dengan kambing kibas, dan ketika penyembelihan beliau
mengucapkan: "باسم الله, اللهم تقبل من محمد, وآل محمد,
ومن أمة محمد" (Dengan nama Allah, Yaa Allaah, terimalah
dari Muhammad, dan keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad”. Adapun sholawat
kepada Nabi saw., termasuk berdzikir kepada Allah, dan hendaklah mempercepat
berdzikir kepada Nabi saw. dengan membaca sholawat kepada beliau, seperti
adzan. Adapun menghadap ke arah qiblat: oleh karena qiblat adalah arah yang
paling mulya, yakni yang apling utama untuk menghadapkan wajah ketiak
berkurban, dengan emnghadapkan hewan sembelihan ke arah qiblat, begitu pula
yang menyembelih.
(33) Yakni kurban yang diwajibkan atas dirinya,
seperti bila orang menyatakan: Untuk Allah padaku untuk berkurban pada tahun
ini, atau dengan kambing ini, atau apabila saya sembuh dari penyakit ini, dan
sebagainya. Atau menyatakan: Saya jadikan kambing ini sebagai kurban. Termsuk
makan adalah memanfaatkan kurban, dia tidak boleh memanfaatkan kulitnya
misalnya. Tetapi dia wajib memberikannya kepada orang, apabila dia ternyata
ikut makan, maka dia wajib menggantinya atau membayar harganya.
(34) Hadits riwayat al Bukhary (5249), dan Muslim
(1974), dari Salmah bin al Aku’ ra. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Barang
siapa yang berkurban, maka janganlah pada pagi hari sesudah tanggal 13 di
rumahnya masih ada sisa daging”. Pada tahun berikutnya para sahabat berkata:
Wahai Rasulullah, apakah kami harus berbuat seperti tahun lalu? Beliau
menjawab: Makanlah dan berikanlah makan orang, dan simpanlah, sesungguhnya pada
tahun lalu itu kondisi amnusia dalam keadaan sengsara, maka saya bermaksud
untuk menolong mereka”. Dan dieprbokan memberikan sebagai hadiah kehormatan
kepada orang kaya, dan disunnatkan agar
yang dimakan atau yang diberikan sebagai hadiah tidak lebih dari sepertiganya,
memabgikan kepaad yang membutuhkan lebih afdlol dibanding untuk ahdiah. Yang
afdlol yang berkurban memakan dagingnya sedikit sebagai tabaruk
(mengharap barokah Allah) dan menyedekahkan sisanya, mengikuti perbuatan
Rasulullah saw.. Telah diriwayatkan oleh al Baihaqy, bahwasanya Rasulullah saw.
memakan hati kurban. (Mughny al Muhtaj: IV/290). Wajib dibagikan kepada fakir
miskin walaupun hanya seorang, menurut pendapat yang benar dalam madzhab kami,
berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan telah Kami jadikan bagi akmu onta-onta
itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang abnyak padanya,
maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelih dalam keadaan berdiri.
. Kemudian apabila telah roboh, maka maknlah sebagiannya dan beri makanlah
orang-orang yang amat fakir”. (al Haj: 36). Dan tidak wajib makan dari daging
kurban, sebanding dengan wajibnya memberikan kepada yang fakir, dia bebas
memilih antara makan atau tidak. (Mughny al Muhtaj: IV/290).
(35) Atau bagian dari hewan tersebut, termasuk
menjual kulitnya, karena hal itu hukumnya haram, atau memberikan kepada tukang
jagal sebagai upahnya. Dasarnya adalah hadits riwayat al Baihaqy (IX/294), dari
Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang
menjual kulit hewan kurban, maka hewan yang disembelih tersebut tidak dianggap
sebagai kurban baginya”. Apabila bukan kurban nadzar atau kurban wajib
(perhatikan CK. No: 33), orang yang berkurban boleh memanfaatkan kulitnya, bila
tidak dimanfaatkan sendiri, maka wajib disedekahkan kepada orang lain.
(37) Menurut bahasa berasal dari kata: "العَقُّ"
artinya: merobek atau memotong. Itu adaalh nama dari rambut yang berada pada
kepala sang bayi ketika dia dilahirkan, dinamakan demikian karena dipotong atau
di cukur. Dan oleh karenanya hewan yang disembelih dimakanan dengan nama rabut
tersebut, karena hewan tersebut disembelih ketika bayi tersebut dicukur
rambutnya. Disunnatkan mencukur rambut pada hari ketujuh, dan memberikan
sedekah dengan perhiasan dari emas atau perak, baik bayi laki-laki atau wanita.
Dasar disyari’atkannya dan disunnatkannya adalah hadits riwayat at Tirmidzy
(1522), dan lainnya, dari Samuroh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Anak itu tergadaikan dengan aqiqoh, maka harus disembelihkan hewan untuknya
pada hari ketujuh, dan diberi nama, dan dicukur kepalanya”. Pengertian: "مرتهن
بعقيقته" artinya dia tidak akan memberi
syafaat kepada kedua orang tuanya pada ahri qiyamat, apabila tidak diaqiqohi
untuknya, ada yang berpendapat tidak demikian. Hadits riwayat al Hakim
(IV/234), dari Ali bin Abi Tholib ra. ia berkata: Rasulullah saw. melakukan
aqiqoh untuk cucu beliau bernama al Husain dengan seekor kambing, dan beliau
bersabda: “Wahai Fathimah, cukurlah kepalanya, dan bersedekahlah dengan
perhiasan seberat timbangan rambutnya”, kemudian beliau menimbangnya, dan
beratnya satu dirham.
(38) Hadits riwayat Ibnu Majah (3163), dari A’isyah
ra. ia berkata: Rasulullah saw. memerintahkan kepada kami untuk beraqiqoh untuk
anak laki-laki dengan dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor
kambing. Menurut riwayat Abu Dawud (2834), dan at Tirmidzy (1513): Untuk anak
laki-laki dua ekor kambing yang sama.
(1) Musabaqoh berasal dari kata: "السبق" artinya mendahului, sedangkan lomba tepat sasaran berasal dari
kata: "النضل" sama dengan kata: "الرمي" artinya: panahan, tembakan, lemparan, perlombaan ini dimaksudkan
untuk menunjukkan kemahiran masing-masing dalam memanah. Kedua lomba ini
hukumnya sunnat, apabila dimaksudkan sebagai upaya mempersiapkan diri untuk
berperang (menangkal musuh), bila tidak untuk itu, maka hukumnya mubah (boleh),
selama tidak dimaksudkan untuk hal-hal yang haram – seperti untuk merampok –
maka dua lomba itu haram hukumnya, atau untuk bermegah-megah dan untuk bangga
banggaan. Dasr disyari’atkannya dua lomba tersebut adalah firman Allah Ta’alaa:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa saja yang kamu
sanggup dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang” (al Anfal: 60).
Nabi saw. menafsirkan ayat tersebut adalah: kekuatan untuk tepat dalam memanah,
beliau bersabda: “Ketahuilah, bahwa kekauatan itu adalah kemampuan memanan,
ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah kemampuan memanah, dan ektahuialh bahwa
kekuatan itu adalah kemampuan memanah”, diriwayatkan oleh Muslim (1917). Hadits
riwayat al Bukhary (2743), dari Salamah ainul Aku’ ra. ia berkata: Nabi saw.
memerintahkan kepada sekelompok orang dari qabilah Aslam untuk berlomba tepat
sasaran, maka Nabi saw. bersabda: “Lemparlah bani Ismail, sesungguhnya nenek
moyang kamu adalah pemanah, lemparl;ah, dan saya beserta bani Fulan. Al Aku’
berkata: Salah seorang dari dua kelompok memegang tangan mereka (berpangku
tangan tidak melempar), maka Rasulullah saw. bersabda: Mengapa kamu tidak
ikut memanah? Mereka menajwab: Bagaimana kami melempar, sedang tuan beserta
mereka? Maka Nabi saw. bersabda: “Lemparlah, maka saya berpihak kepada kalian
semuanya”. Dan hadits riwayat al Bukhary
(410), dan Muslim (1870), dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. ikut berlomba
di antara kuda yang udlmirot, dari
al Haifak ke Tsaniyatil Wadak. Dan berlomba di antara kuda yang tidak udlmirot
dari as Tsaniyah ke Masjid bani Zuraiq, bahwasanya Abdullah bin Umar ra. berada
di dalam mereka yang ikut berlomba. Udlmirot: adalah digemukkan lebih
dulu, lalau dikurangi makanannya dan diamsukkan ke dalam suatu tempat, sesudah
itu dikeluarkan agar keluar keringatnya dengan banyak, sehingga menjadi singset
dan padat tubuhnya, sehingga akan kencang larinya. Diperbolehkan adu cepat dan
adu tepat dengan persyaratan (hadiah) benda, dan boleh pula berlomba tanpa
hadiah benda, dengan syarat tidak menyakiti orang atau menyiksa hewan.
(5) Oleh karena kedua belah pihak terbayang akan
memboyong hadiah atau kehilangan, dan ini merupakan judi dan tidak
diperbolehkan. Oleh karena itu diperbolehkan kalau berasal dari salah satu dari
kedua peserta, agar tirhindar dari bentuk
perjudian sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan dieprbolehkan bila hadiah
tersebut dikeluarkan oleh pihak ketiga,
mislanya dikeluarkan olrh sultan (raja) dari baitul maal, atau salah seorang
pejabat dari hartanya sendiri, untuk diperlombakan, atau dari salah satu dari
peserta lomba.
(6) Orang ketiga yang bisa mebolehkannya
dilaksanakan lomba, yang dinamakan dengan muhallil, oleh karena dengan adanya
orang ketiga tersebut transaksi (lomba) menjadi halal (diperbolehkan), sebagai pengahpus
bentuk perjudian sebagtaimana yang dijelaskan di muka.
(7) Hadiah dari dua peserta bila orang ketiga
menang, tetapi apabila orang ketiga dikalahkan oleh ksalah satu dari kedua
peserta yang emngeluarkan hadiah, maka yang berhak menerima hadiha adalah salah
satu dari yang telah mengeluarkan hadiah.
(1) Kata: "اليمين" sama dengan "الحلف" artinya: sumpah, dinamakan demikian karena mereka apabila
bersumpah masing-masing pihak saling berpegang tangan kanan pihak lainnya.
Pengertian tidak shah adalah: tidak menghasilkan bekas apa-apa menurut syara’, kecuali bila menunjukkan yang
bersangkut paut dengan dzat Allaah Ta’alaa, misalnya dengan ucapan: "والله" (demi
Allah), atau dengan nama khusus dari Allah, misalnya mengucapkan: "والإلـه" (demi
Tuhan), atau: "ومالك يوم الدين" (demi
penguasa pada hari pembalasan), atau dengan salah sifat Allah, seperti
mengucapkan: "والرحمن" (demi Yang Maha Pengasih), atau: "والحي الذى لا يموت" (demi Yang Maha Hdiup dan tidak mati), dan sebagainya. Sumpah
tidak sebagaimana yang disebutkan di muka hukumnya haram dan dianggap bermaksiyat kepada Allah. Dasarnya
adalah hadits riwayat al Bukhary (6270), dan Muslim (1646), dari Abdullah bin
Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw. mendapati Umar Ibnul Khothob ketika dia
sedang berkendaraan, dia bersumpah dengan menyebut nama bapaknya. Maka beliau
bersabda: “Ketahuilah sesunguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan nama
bapakmu, barang siapa yang bersumpah, hendaklan bersumpah dengan nama Allah,
atau diam”. Hadits riwayat al Bukhary (6253), dari Ibnu Umar ra. ia berkata:
Sumpah Nabi saw.: "لا ومقلب
القلوب" (tidak, demi yang membolak balikkan hati).
Dan cukup banyak hadits dalam riwayat al Bukhary (6254, 6255), dan lainnay,
bahwasanya Rasululah saw. dalam sumpah, beliau mengucapkan: "والذى نفسى بيده,
والذى نفس محمد بيده" (Demi Dzat di mana
diriku berada dalam genggaman-Nya atau Demi Dzat di mana diri Muhammad berada
dalam genggaman-Nya). Dimakruhkan bersumpah tanpa ada keperluan apa-apa, firman
Allah Ta’alaa: “Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai
penghalang untuk berbuat kebajikan, bertaqwa dan mengadakan islah di antara
manusia”. (al Baqoroh: 224). Hadits riwayat al Bukahry (1981), dan Muslim
(1606), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Sumpah untuk mempromosikan dagangan, menghilangkan barokah”
(2) Misalnya dia menyatakan: “Milik Allah padaku
aku akan menyedakahkan hartaku, apabila saya sampai berbuat demikian”, misal
lain: “Saya akan berpuasa satu hari” dan sebagainya. Yang demikian itu disebut
sumpah: "اللجاج والغضب" (larangan dan kemurkaan) juga dinamakan dengan nadzar
lajaj wal ghodlob, karena sumpah ini serupa dengan nadzar, yakni mewajibkan
dirinya untuk berkurban, serupa dengan sumpah dari sisi penguatan dalam hal
melarang perbuatan atau untuk meninggalkannya. Dan hal ini lebih dekat dengan
nadzar, karean disandarkan kepada larangan, - yakni secara terus menerus dalam
pertentangan – dan disandarkan pula dengan kemurkaan, oleh karena pada umumnya
menghasilkan kedua-duanya.
(3) Yakni menyedekahkan hartanya, atau memenuhi
apa yang wajib ia lakukan dari ibadah yang ia janjikan.
(4) Berdasarkan hadits riwayat Muslim (1645), dari
Uqbah bin Amir ra., dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Kafarat nadzar sama
dengan kafarat sumpah”. An Nawawy rohimahullah menyatakan: Ulama berbeda
pendapat tentang maksudnya. Jumhur ulama
golongan kami membawanya sebagai nadzar lajjaj (larangan), di
melarang dirinya untuk berbicara kepada Zaid misalnya: “Apabila saya berbicara
dengan Zaid – misalnya – maka milik Allah berada pada saya yakni ibadah haji”
atau lainnya. Ternyata dia pada suatu
ketika berbicara dengan Zaid, maka dia boleh memilih antara membayar kafarat sumpahnya atau melaksanakan
janji dalam sumpahnya. Ini yang benar menurut madzhab kami (Syarah Muslim:
XI/104).
(5) Yakni sumpaah yang terucap di oleh lidah
(mulut) tetapi tidak ada niyat untuk bersumpah, atau berniyat sumpah terhadap
sesuatu, tetapi yang terucap oleh lidahnya (mulutnya) terhadap yang lain. Maka
sumpah semacam ini tidak wajib membayar kafarat dan tidak berdosa, berdasarkan
firman Allah Ta’alaa: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan oleh sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hatimu”. (al Baqoroh: 225).
Pengertian disengaja di sini adalah: diniyatkan dalam hati. A’isyah ra.
berkata: Ayat tersebut diturunkan karena sabda beliau: "لا والله, بلى والله" (Tidak, demi Allah atau Benar, demi Allah), diriwayatkan oleh
al Bukhary (6276). Hadits riwayat Abu Dawud (3254), dan Ibnu Majah (1187), dari
Athok tentang sumpah yang main-main, ia berkata: A’isyah ra. berkata:
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Yaitu ucapan seorang laki-laki di
rumahnya: "كلا والله, وبلى
والله" (Tidak, demi Allah,
atau ya, demi Allah).
(6) Kata : "يحنث" berasal dari "الحنث" artinya: tidak memenuhi apa yang diwajibkan atas sumpahnya, "الحنث" pada
asalanya berarti dosa. Tidak berdosa
dalam bentuk sebagaimana yang dijelaskan, oleh karena dia tidak
melaksanakan sesuatu itu secara langsung, perbuatan itu disandarkan kepada
pelaku langsungnya (orang yang disuruh), sebab dia bersumpah tidak melakukan
sesuatu sebagai perbuatan dirinya sendiri, maka tidak berdosa bil;a menggunkan
tenaga orang lain.
(7) Seperti bila orang bersumpah: “Tidak akan
memakai dua pakain ini”, atau “tidak akan berbicara dengan Zaid dan Umar”,
ternyata pada satu saat diamemakai salah satu dari baju tersebut, atau dia
berbicara dengan Zaid saja”, maak dia tidak melanggar sumpah, oleh karena
sumpahnya satu untuk bersatunya dua hal. Tetapi apabila dia menyatakan: “Saya
tidak akan memaki baju ini dan tidak pula baju ini”, atau “Saya tidak akan
berbicara dengan Zaid , dan tidak pula dengan Umar”, maka dia dianggap
melanggar sumpah bila ternyata memakai salah satu dari dua baju tersebut, atau
berbicara dengan salah satu dari dua orang tersebut, oleh karena diulangnya
kata “tidak” (nafi), berarti yang dimaksudkan adalah masing-masing dari
keduanya, bahwa yang dimaksudkan oleh sumpah adalah satu persatu.
(8) Artinya sumpah yang shah, yakni yang diucapkan
oleh lisannya, dan diniyatkan dalam hati, apabila ternyata tidak dilakukannya,
maka dia wajib membayar kafarat (sangsi denda), berdasarkan firman Allah
Ta’alaa: “Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja”. (al Maidah: 89). Pengertian: "عقدتم الأيمان"
(sumpah yang kamu sengaja, atau sumpah yang kamu perkuat), bersarkan firman
Allah Ta’alaa: “Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah kamu yang
disengaja dalam hatimu”. (al Baqoroh: 225). Hal ini bisa berlaku di amsa lampau
atau yang akan datang, apabila berlaku untuk masa lampau berarti dia bohong,
dan itu disebut dengan sumpah "الغموس" (al ghomus) atau sumpah malapetaka dan itu
termasuk dosa besar, di dalmnya terdapat dosa yang berkaitan dengan kewajiban
membayar kafarat. Dinamakan dengan al ghomus oleh karena yang bersumpah
diancam akan dimasukkan ke dalam neraka, apabila dia tidak bertaubat dari
sumpah bohong itu. Hadits riwayat al Bukahry (6298) dari Abdullah bin Amru ra.,
dari Nabi saw. beliau bersabda: “Dosa besar adalah: menyekutukan Allah, melawan
kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah ghomus”.
(9) Mud adalah takaran berbentuk kubus yang
sisi-sisinya 9,2 cm, kira-kira isinya 600 gram. Pakaian adalah yang biasa
dipakai masyarakat umum, bila tidak mampu
memerdekakan budak atau memberi pakaian, maka berpuasa selama tiga hari, tanpa
dituntut secara berturut-turut. Dasar dari kafarat ini adalah firman Allah
Ta’alaa: “Maka kafarat pelanggaran sumpah itu, ialah memberi makan kepada
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Barang
siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafaratnya berpuasa
selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kafarat sumpahmu bila kamu melanggar
sumpah. Memerdekakan budak artinya memmebasakan seorang dari perbudakan baik
laki-laki atau wanita. Terkait pula
dengan sumpah ketika membahas kafarat pembunuhan dan dhihar, perhatikan CK. No:
58 Kitab Nikah, dan CK. no: 29 Kitab Jinayat. Pengertian: "اذا
حلفتم" : apabila tidak bisa memenuhi
sumpahkamu.
(10) Artinya shah suatu nadzar dan menjadi wajib
atas segala konsekwensinya, dan wajib dipenuhi. Apabila seorang mewajibkan
dirinya untuk berbuat ibadah, sebagai imbalan (rasa terima kasih) atas keberhasilannya
dalam melakukan hal-hal yang mubah, atau yang menyenangkan dengan mendapatkan
kenikmatan atau terbebasnya dari kejahatan. Nadzar menurut bahasa: janji,
baik atau buruk, sedang menurut syara’: janji berbuat kebaikan tertentu,
atau keharusan berbuat ibadah yang tidak
ada asal-usulnya dalam syara’. Nadzar ada dua macam: (1) nadzar lajaj wa
ghodlob (mencegah diri dari berbuat sesuatu) sebagaimana yang telah
dijelaskan pada CK. no: 1, dan (2)
nadzar tabarrur (akan berbuat baik), yakni dituntut sebab nadzar itu
untuk melakukan kebaikan atau pendekatan diri kepada Tuhan (ibadah). Nadzar tabarrur
ada dua macam: (a) dalam keadaan bergantung, wajib melakukan sesuatu kebaikan
apabila berhasilnya suatu nikmat (kebahagiaan) atau hilangnya
suatu niqmat (bencana), ini dinamakan: nadzar al mujaazah atau nadzar al mukaf-ah (perwujudan
rasa terima kasih) sebagaimana yang dijelaskan oleh Mushonnif (penyusun
kitab) beserta contohnya, (b) tidak bergantung: misalnya dia mengucapkan: “Hak
Allah pada saya, puasa, atau haji, atau lainnya”, maka dia wajib melakukan apa
yang diikrarkan. Dasar disyari’atkannya nadzar serta wajib untuk
dilaksanakannya adalah firman Allah Ta’alaa tentang sifat orang yang baik:
“Mereka menunaikan nadzar dan tajut akan suatu hari yang adzabnya (siksanya)
merata di mana-mana”. (ad Dahr/al Insan: 7), dan firman Allah Ta’alaa: “Dan
hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka” (al haj: 29). Dan
Rasulullah saw. mencela orang-orang yang tidak memenuhi sumpah mereka,
sebagaimana hadits riwayat al Bukhary (2508), dan Muslim (2535), dari Umron bin
Hushoin ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sesudah kamu
nanti ada kaum (sekelompok masyarakat) yang berkhianat dan tidak dapat
dipercaya, mereka bersaksi tetapi tidak dapat dipertanggung jawabkan
persaksiannya, mereka bernadzar tetapi mereka tidak memenuhinya, yang tampak di
kalangan mereka adalah manusia yang gemuk-gemuk, disebabkan terlalu banyak
makan serta cukup istirahat, tetapi meninggalkan berjihad”. Ada yang menyatakan:
itu sebagai simbul kemewahan kehidupan duniawi. Hadits riwayat al Bukahry
(6318), dari A’isyah ra. dari Nabi saw.: “Barang siapa yang bernadzar akan
berbuat taat kepada Allah, maka hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan barang
siapa yang bernadzar akan berma’siyat kepada Allah, maka janganlah berma’siyat
kepada-Nya”.
(11) Yakni: nama perbuatannya: sholat, atau puasa, atau
sedekah sesuai dengan syara’. Paling sedikit untuk sholat adalah dua roka’at,
puasa paling sedikit satu hari, dan sedekah paling sedikit adalah yang pantas
dianggap sebagai harta menurut syara’, hal ini apabila nadzar itu dengan
kalimat mutlak (tanpa batas ketentuan), apabila dalam nadzar ditentukan
jumlahnya, maka wajib dipenuhi sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
(12) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Dan barang
siapa yang bernadzar akan berma’siyat kepada Allah, maka janganlah berma’siyat
kepada-Nya”. Dan sabda beliau saw.: “Tidak shah nadzar dalam hal berma’siyat
kepada Allah”, diriwayatkan oleh Muslim (1641). Artinya tidak diperhitungkan
dan tidak berakibat apa-apa sumpah tersebut, kecuali apabila diniyatkan dalam
hati bahwa itu sebagai sumpah, maka dia wajib membayar kafarat sumpah,
perhatikan CK> no: 4).
(13) Contoh meninggalkan perbuatan: bila orang
bernadzar: akan makan, atau minum, atau memakai sesuatu. Yang menunjukkan
demikian adalah hadits riwayat al Bukhary (6326), dari Ibnu Abbas ra. ia
berkata: Ketika Rasulullah saw. berkhotbah, ternyata beliau melihat seorang
lelaki berdiri, maka beliau bertanya tentang dia. Para sahabat menjawab: Dia adalah Abu Isroil, dia
bernadzar akan berdiri terus tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan
berpausa. Maka Nabi saw. bersabda: “Pewrintahkan dia untuk berbicara, berteduh,
duduk, dan menyempurnakan puasanya”. Yang demikian itu sebab berpuasa adalah
sebagai ibadah, maka wajib dipenuhi bila dinadzarkan.
(1) Kata: "الأقضية"
adalah jamak (plural) dari kata: "قضاء" yang
menurut bahasa artinya bermacam-macam, antara lain: “hukum”. Allah Ta’alaa
berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar supaya kamu tidak menyembah
kepada selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak”, (al Isrok:
23), artinya Allah menetapkan hukum. Arti menurut syara’: Menyelesaikan perkera
antara dua pihak yang berselisih atau lebih dengan hukum Allah Ta’alaa. Banyak
ayat al Qur’an, di antaranya firman Allah Ta’alaa: “Apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia, maka hendaklah kamu menetaknannya dengan adil”, (an
Niasak: 58), dan firman Allah Ta’alaa: “Dan hendaklah memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”, (al Maidah: 49). Banyak hadits di antaranya hadits riwayat Abu Dawud
(3582), dan lainnya, dari Ali ra. ia berkata: Rasulullah saw. mengutus saya ke
Yaman untuk menjadi qodlie (hakim), maka saya berkata: Wahai Rasulullah, tuan
menyruruh saya, sedangkan saya masih muda usia – menurut riwayat al Hakim (IV/93): Tuan menyuruh
saya kepada suatu kaum yang sudah cukup usia, sedangkan saya masih muda belia –
tidak ada ilmu pada saya untuk memutuskan hukum?. Maka beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah akan memberikan petunjuk hatimu, dan memberikan kekuatan
pada lisanmu”. Ia berkata: Saya terus menjadi qodlie, atau saya tidak argu
menjadi qodie untuk selanjutnya. Kata: "الشهادات" bentuk jamak (plural) dari kata: "شهادة"
(saksi) dari kata: "المشاهدة" (menyaksikan), yakni mengungkapkan sesuatu secara jelas, yakni
pemberitahuan tentang apa yang hal-hal disaksikan, atau memberitahukan
menggunakan lafadh tertentu. Arti menurut
syara’: Pemberitahuan untuk memperkuat kebenaran pihak lain atas yang
lain dengan lafadh tertentu. Dasr disyari’atkannya persaksian adalah ayat-ayat
al Qur’an, antara lain firman Allah Ta’alaa; “Hendaklah kamu menjadi orang yang
selalau menegakkan kebenaran karena Allah”, al Maidah: 8), dan firman Allah
Ta’alaa: “Dan janganlah kamu menyembunyikan persaksian” (al baqoroh:283). Dan banyak
hadits, akan dijelaskan pada tempatnya nanti.
(2) Artinya tidak shah pengusaannya, dan tidak
berhak Sultan (raja) memegang kekuasaan peradilan, dan berdosa menerima
kekuasaan peradilan tersebut.
(3) Tidak shah penguasan peradilan oleh orang
kafir di negeri Islam, walaupn untuk mengdili orang perkara antara orang kafir.
Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan
jalan kepada orang-orang kafir memusnahkan orang-orang beriman”, (an Nisak:
141). Tidak memberi jalan lebih besar dibandingkan dengan memberikan hak
perdilan terhadap ummat Islam, atau di negeri Islam.
(5) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Tidak akan
mendapatkan kemenangan suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum
wanita”, diriwyatkan oleh al Bukhary (4163), dari Abu Bakroh, ra.
(6) Oleh karena tidak kuat dengan perkataan
(keputusan) orang yang tidak adil, dan negara tidak akan aman dari kesewenang-wenangan
(kedholiman).
(7) Hukum-hukum yang sudah tetap (baku) dari al
Qur’an dan hadits Nabi saw., tahu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat yang
mansukh, mengetahui hukum-hukum kemasyarakatan dari al Qur’an dan hadits dengan
jalan mengisthinbathkan hukum (mengambil kesimpulan hukum) furu’iyah
(fiqih), sebagaimana kemampuannya untuk memilih di antara dalil-dalil hukum
apabila terjadi saling bertentangan.
(8) Hukum yang sudah disepakati , sehingga tidak
akan terjadi perbedan dalam pengambilan keputusan hukum. Ijmak menurut
istilah ahli fiqih dan ahli ushul (tauhid) adalah kesepakatan seluruh mujtahid
ummah (ahli ijtihad) pada suatu zaman tertentu, terhadap satu hukum syara’,
yang terjadi dan tidak ditetapkan hukumnya oleh al Qur’an dan Hadits. Apabila
dihasilkan suatu kesepakatan mujtahid, maka hukum dimaksud menjadi hukum yang
disepakati secara syar’ie dan berlaku tetap, dan tidak boleh seorangpun dari
ummat Islam untuk menentangnya, termasuk para mujtahid berikutnya sampai
mujtahid modern nanti, sehingga akan menetukan hukum baru berdasarkan ijtihad
mereka.
(9) Hal yang terjadi pada zaman sahabat, atau
sesudah sahabat dari kalangan Tabiian dan para tokoh mujtahid, tentang
permasalahan yang mereka putuskan hukumnya, agar lebih arif dalam hal mengambil
keputusan hukum atas masalah yang dihadapinya.
(10) Atau jalan untuk beristhinbath hukum
berdasarkan dalil-dalilnya, dan tatacara mengambil atau memilih dasar-dasar
hukum yang ada.
(11) Memahami bahasa Arab, asal-usual lafadhnya,
tashrifnya, I’robnya, oleh karena bahasa Arab adalah bahasa Syari’ah Islam dari
al Qur’an dan Hadits.
(12) Dasar dari enam sayarat di atas adalah hadits
riwayat Abu Dawud (3573), dan lainnya, dari Buraidah ra. dari Nabi saw. beliau
bersabda: “Qodlie (hakim) itu ada tiga kategori: satu yang masuk surga dan dua
masuk neraka. Adapun hakim ayng masuk surga adalah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan
memutuskan dengan kebenaran itu. Sedangkan seorang yang tahu kebenaran tetapi
dalam memutuskan perkara dengan melanggar hukum, maka dia itu amsuk neraka, dan
seorang yang menghakimi manusia atas kebodohannya, maka dia masuk neraka”,.
Pengertian atas kebodohannya: dia tidak memiliki alat yang dapat mengantarkan
dia untuk mengambil keputusan dengan
benar yang diridloi oleh Allah Azza wa Jalla. Di dalam kitab al Iqnak ia
menyatakan: Hakim yang hukumnya berlaku adalah hakim pertama, sedangkan hakim
kedua dan ketiga tidak dapat dipegang keputusan hukumnya. Hadits riwayat al
Bukhary (6919), dan Muslim (1716), dari Abdullah bin Amru ibnul Ash ra. , bahwasanya
dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila hakim mengadilil suatu perkara
dia berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala.
Apabila mengadili perkara dan berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka dia
mendapatkan satu pahala”. Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan diri
untuk mengetahui tentang ketetapan hukum, serta mengetahui kebenaran di
dalamnya. Hal ini menunjukan bahwa seorang hakim yang mengadili antara manusia
dan dan ketetapan hukumnya harus merupakan hasil dari kemampuannya berijtihad
dan tidak terkumpul kemampuan berijtihad keculai memiliki semua syarat ini. An
Nawawie rohimahullah menyatakan di dalam Syarah Muslim (XII/13): Ulama berpendapat,
bahwa ummat Islam telah sepakat bahwa hadits ini membahas tentang hakim yang
berilmu dan ahli di bidang peradilan, apabila keputusannya benar, maka dia mendapat dua pahala, satu pahala ijtihadnya
dan satu pahala dari kebenaran keputusannya, apabila salah maka dia mendapat
satu pahal dari ijtihadnya. Adapun orang yang tidak tidak ahli di bidang hukum,
maka tidak halal abginya menjadi hakim, apabila dia menetapkan hukum, maka
tidak mendapatkan pahala, bahkan dia berdosa, dan keputusan hukumnya tidak
dapat diberlakukan, apakah keputusannya bertepatan dengan kebenaran atau tidak,
oleh karena kebenarannya hanya sekedar kebetulan saja – bukan disengaja – tidak
berdasarkan kepada dasar hukum syara’, berarti dia bermaksiyat di semua
keputusan hukumnya, baik benar atau salah, hasilnya tertolak keseluruhannya,
tanpa alasan apapun juga. Telah terdapat dalam hadits: “Hakim itu adatiga
kategori ……”, kemudian kita hubungkan dengan hadits Abu Dawud di muka.
(13) Tidak lupa, sehingga tidak mudah tertipu, ini
syarat apabila terdapat cacat dalam bidang pemimikiran dan pendapat, bila rtidak
demikian, maka hukumnya sunnat. Dipersyaratkannya baik pendengaran, agar mampu
membedakan antara ikrar (pengakuan) dan inkar (penolakan). Baik
penglihatan, agar mampu membedakan antara lawan dengan saksi, dan membedakan
antara penuntut dengan yang dituntut, oleh karena orang yang buta tidak mampu
mebedakan antara keduanya, kecuali hanya melalui suara, yang kadang-kadang
hampir sama. Yang paling benar bahwa kemampuan menulis bukanlah sebagai syarat,
kecuali apabila tidak didapati pada persidangan itu juru tulis (panitera) yang
mampu untuk melakukan tugas itu.
(15) Misalnya penjaga pintu dan sebagainya, yang
menghalangi orang karenanya, ketika hakim sedang duduk untuk mengadili perkara, dan menghalangi
orang yang akan masuk/menuju kepadanya. Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud
(2948), dan at Tirmidzy (1332), dan lainnya, dari Abi Maryam al Azdie ra. ia
berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang diberi
kepercayaan suatu urusan ummat Islam, kemudian dia menutup kebutuhan
mereka, hajat mereka, kesusahan mereka,
maka Allah akan menutup hajatnya, kebutuhannya, dan dan kesusahannya”. Hal ini
apabila kondisinya tidak penuh sesah, sehingga membutuhkan pembatas untuk
menertibkan urusan.
(16) Untuk menjaga halhal yang tidak sepantasnya di
masjid antara lain: terjadinya teriakan, kegaduhan serta pertengkaran, dan
kadang-kadang diperlukan untuk menghadirkan ke majelis perdilan orang-orang
yang tidak boleh tinggal diam di dalam masjid, misalnya orang yang sedang haid,
dan orang-orang yang tidak patut masuk ke dalam masjid, misalnya anak kecil,
orang gila, orang kafir dan lain-lain.
(17) Yakni pandangan, jnganlah hakim hanya
menujukan pandangannya hepada salah satu pihak
yang berperkara, atau menghadapkan wajah kepada satu [ihak lebih banyak
dari pada kepada pihak ayng lain, sebagaimana halnya, bahwa dia tidak hanya
mengkhususkan pembicaraan atau memberi salam hanya kepada salah satu pihak, dan
semua bentuk penghormatan lainnya. Dasar
hal ini adalah hadits riwayat ad Daroquthny (IV/205), dari Ummi Salamah ra. ia
berkata: Rasululah saw. bersabda: “Barang siapa yang diuji untuk mengadili di
antara manusia, maka hendaklah berlaku adil antara mereka, dalam hal perhatian,
isyarat, dan tempat duduk. Janganlah mengeraskan suara kepada salah satu dari
dua pihak yang berperkara, dan tidak
demikian terhadap pihak lainnya.
(18) Yakni orang-orang yang bertanggung jawab
kepadanya dalam menyelesaikan permusuhanmereka, serta memutuskan hukum dalam
hal pertengkaran mereka.. Dasar dari hal ini adalah hadits riwayat al Bukhary
(6260), dan Muslim (1832), dari Abi Humaidie as Sa’idie ra. bahwasanya
Rasulullah saw. menugaskan seorang amil
(pengumpul zakat). Kemudian amili tersebut datang sesudah selesai melaksanakan tugasnya, dan
berkata: Wahai Rasulullah, ini untuk tuan, dan ini hadiah untukku. Maka beliau
bertanya kepadanya: “Apakah bila engkau duduk di rumah bapakmu dan ibumu:
apakah orang tuamu memberimu hadiah atau tidak?” Lalu Rasulullah saw. berdiri
pada malam hari sesudah sholat, beliau mengucapkan syahadat dan memuji kepada
Allah, dengan pujian yang patut bagi Allah, lalu bersabda: “Amma ba’du:
Bagaimanakah seorang amil kami tunjuk, dia datang kepada kami dan berkata: Ini
hasil kerjamu, dan ini hadiah untukku, apakah bila dia duduk di rumah ayahnya
dan ibunya, lalu memperhatikan: Apakah dia akan diberi hadiah atau tidak? Demi
Dzat di mana diri Muhammad berada di genggaman-Nya, tidak seorangpun di antara
kamu yang melakukan suatu penipuan, kecuali nanti akan datang pada hari qiyamat membawa hasil penipuan itu pada
lehernya : apabila itu berupa onta, maka dia akan datang dengannya dan dia
bersuara seperti suara onta, apabila sapi, maka akan datang dengannya dan dia
akan bersuara seperti suara sapi, dan apabila berupa kambing, maka akan datang
dengannya dan dia akan bersuara seperti suara kambing, dan hal ini sudah saya
sampaikan kepadamu”. Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangan beliau,
sampai kami melihat putihnya kedua ketiak beliau. Dalam riwayat lain menurut
Ahmad (V/424): “Tingkah laku para amil yang menjadi penipu”. Ini semua apabila
hadiah berasal dari orang yang sedang berperkara, dan hakim mengetahui hal itu,
atau berasal dari orang yang tidak biasanya memberikan hadiah sebelum dia
menjadi hakim. Apabila hadiah berasal dari orang yang pada biasanya memberi dan
tidak ada hubungannya dengan perkara, maka boleh diterima, selama tidak lebih
dari kebiasaan jenis atau caranya. Apabila lebih, maka perlu diperhatikan:
apabila hal itu akan menimbulkan dampak negatif, jangan diterima, bila tidak
menimbulkan dampak negatif, maka boleh diterima.
(21) Dan hal-hal lain yang mengakibatkan
terganggunya stabilitas jiwa (emosi), atau jeleknya perilaku, atau hilangnya
kemampuan berfikir sehat. Dasar hal ini adalah hadits riwayat al Bukhary
(6739), dan Muslim (1717), dari Abi Bakroh ra. ia berkata: Saya mendengar
Rasululah saw. bersabda: “Janganlah hakim mengdili dua orang yang berperkara
ketika dia dalam keadaan marah”. Menurut riwayat Ibnu Majah (2316): “Hakim
tidak boleh mengadili …..”. Dalam riwayat lain: “Tidak patut bagi hakim
mengadili ketika …….” Marah akan membuat perobahan dalam berfikir, dan keluar
dari tabiat profesionalisme dalam berfikir berijthad untuk mengetahui hukum
sebenarnya. Larangan di sini menunjukan makruh, sebaba sekalipun dalam kondisi
sepereti itu, keputusan hakim tetap berlaku.
(23) Artinya sesudah diminta oleh penuduh agar
hakim menyumpah tertuduh. Oleh karena sumpah tertuduh adalah hak penuduh, maka
harus melalui izin penuduh. Maka tergantung kepada izin atau pemintaan penuduh.
(24) Sehingga orang tahu bagaimana cara untuk
memperkuat dakwaan, atau memberikan jawaban, atau tahu bagaimana cara
menyetujui atau menolak, karena adanya indikasi keberpihakan kepada salah satu
pihak dan melawan pihak lainnya, yang demikian itu hukumnya haram.
(25) Artinya janganlah mempersulit mereka serta
menyakiti hati mereka, dan sebagainya, misalnya: mengejek, atau menyerang pembicaraan mereka, atau menekan
mereka dalam upayanya untuk mengetahui tatacara menyiapkan diri untuk menjadi
saksi, padahal sebenarnya dia adalah benar serta sehat akalnya, oleh karena
sikap hakim yang tidak kooperatif akibatnya mereka lari tidak mau menajdi
saksi, padahal manusia sangat membutuhkan kesaksian mereka. Allah Ta’alaa
berfirman: “dan janganlah saling mempersulit antara penulis (katib/panitera)
dengan saksi, jika kamu lakukan yang demikian itu, maka sesungguhnya hal itu
suatu kefasikan (dosa) pada dirimu sendiri”. (al Baqoroh: 282).
(26) Keadilan yang pasti dengan pengetahauan hakim
terhadap saksi, atau berdasarkan rekomendasi dua orang yang adil di dekat
hakim, akan dijelaskan tenatng keadilan beserta dalilnya sesudah ini.
(27) Adanya dugaan akan berbuat dholim terhadap
musuhnya, dan karenba rasa cinta anak terhadap orang tuanya atau sebaliknya. Dasarnya ditolaknya
persaksian itu, sebab adanya dugaan tidak akan adil. Sebagaimana haits riwayat
Abu Dawud (3601), dan lainnya, dari Abdullah bin Amru ibnul Ash ra., ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh diterima kesaksian pengkhianat,
dan begitu pula kesaksian pezina, dan kesaksian penipu terhadap saudaranya”
Dalam satu riwayat: “Tidak dapat diterima kesaksian orang yang diduga tidak
baik, dan tidak pula kesaksian kerabat”
(28) Apabila hakim memutus perkara terhadap orang
yang tidak ada di tempat (in absentia), lalu dia mengirim surat keputusan itu
kepada hakim di mana terdakwa berada, untuk dilaksanakan ketetapan hukum
tersebut, maka dipersyaratkan agar surat tersebut disaksikan oleh dua orang
saksi, di hadapan hakim penerima surat tentang apa isi surat dimaksud.
(29) Orang yang diberi tugas oleh hakim untuk
membagi suatu benda milik bersama antara beberapa orang, serta memisahkan
antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dasar disayri’atkannya
pembagian adalah firman Allah Ta’alaa tentang harta waris: “Apabila pada waktu
pembagian waris hadir sanak kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka itu dari harta waris sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka dengan
ucapan yang baik” (an Niasak: 8). Dan sabda Rasulullah saw.: “Hak syuf’ah
itu terhadap harta yang belum dibagi”, perhatikan CK. no: 55 Kitab Jual beli.
Dan sudah ada ketetapan dari Rasulullah saw. dalam hal membagi ghonimah kepada
yang berhak, perhatikan CJK. no: 12 Kitab Jihad.
(30) Adapun enam syarat yang pertama: sebab seorang
pembagi adalah memiliki kekuasaan terhadap orang yang berhak menerima bagian,
oleh karena pembagian itu merupakan suatu keharusan, dan orang yang tidak
memiliki secara lengkap enam persyaratan tersebut, maka tidak berhak memegang
suatu kekuasaan. Adapun kemampuan berhitung, demikian pula di bidang ukur
mengukur, dan semua kemampuan yang diperlukan untuk menghitung pembagian harta.
Oleha karena kesemuanya itu merupakan alat (sarana) untuk pembagian,
sebagaimana kemampuan di bidang hukum syar’ie sebagai sarana untuk
menjabat sebagai hakim.
(31) Atau semua persyaratan di atas, karena cukup
dengan syarat sudah mukallaf, yakni: Islam, baligh, dan berakal sehat. Oleh
karena dia tidak memegang kekuasaan dalam hal ini, tetapi bertindak sebagai
wakil dari masing-masing pihak.
(32) Oleh karena penaksiran tersebut merupakan
perkiraan harga barang yang dibagi, diperlukan adanya saksi dalam nilai
harganya, oleh karenanya diperlukan penaksir lebih dari satu orang.
(34) Sepakat untuk membaginya, sebab dimungkinkan
dengan diteruskannya persekutuan tersebut akan membuat kerugian baginya. Tetapi
apabila dengan pembagian itu akan menimbulkan kerugian atau masalah), maka dia
pihak kedua tidak wajib mengabulkannya. Dasar permasalahan ini adalah sabda
Rasulullah saw. (Janganlah menyulitkan orang dan jangan dipersulit oleh orang”,
riwayat Ibnu Majah (2340), dan Malik dalam al Muwathok: (II/745, 805).
(35) "البينة" adalah
saksi yang menyaksikan apa yang dituduhkannya, maka pernyataan saksi ahrus
didengar dan diterima. Dasar masalah ini adalah banyak ahdits, antara lain:
hadits riwayat al Baukahry (4277), dan Muslim (1711), lafadh Muslim, dari Ibnu
abbas ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Kalau manusia dipenuhi tuntutannya,
niscaya akan menuntut darah dan harta
manusia lain, tetapi sumpah adalah hak orang yang dituduh. Hadits riwayat
Muslim (138), dari al Asy’ats bin Qois ra. ia berkata: Nabi saw. dengan seorang
lelaki di Yaman, Saya memperkarakan dia kepada Nabi saw., maka beliau bertanya:
“Apakah engkau mempunayi saksi”, saya jawab: Tidak. Beliau bersabda: “Maka
minta dia bersumpah”. Dalam riwayat lain: “Dua orang saksimu ataukah sumpah
dia”.
(36) Dia berhak atas apa ia tuntut. Berdasarkan
hadits riwayat al Hakim (IV/100), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Sesungguhnya
Nabi saw. mengembalikan sumpah kepada pihak penuntut hak. Ia menyatakan: Hadits
ini shohih sanadnya.
(37) Berpengan kepada dasar, dan berdasarkan realitas, apabila keberadaannya
di tangannya, maka bahwa benda itu miliknya, selama tidak ada saksi yang
menyatakan lain, oleh karena pada dasarnya tidak mungkin benda itu berada di
tangannya kecuali adanya sebab-sebab yang sah sesuai dengan syri’at.
(38) Kata: "تحالفا"
artimya masing-masing pihak bersumpah, yang menyatakan bahwa benda itu bukan
milik pihak lain tetapi miliknya. Hadits riwayat Abu dawud (3613), dan lainnya,
dari Abi Musa al Asy’ary ra. bahwasanya ada dua orang laki-lakisaling berebut
hak terhadap seekor onta atau hewan, kepada Nabi saw. masing-masing tidak memiliki saksi, maka Nabi
saw. menjadikan onta tersebut milik
berdua. Al Hakim menyatakan: hadits ini shohih.
(39) Oleh karena dirinya lebih tahu terhadap
dirinya sendiri serta menguasai hal ihwal dirinya sendiri.
(40) Karena mudahnya untuk membuktikan kejadian
tersebut dan mudah diketahui kejadian itu. Sebagaimana bila seorang yang
mendakwa harta warisannya berada di tangan si Fulan demikian, maka si Fulan
mengingkarinya, tetapi dia tidak berani bersumpah, maka sumpah dikembalikan
kepada pendakwa.
(41) Apabila sumpah itu menunjukkan sesuatu yang
tidak terjadi pada orang lain, maka jangan bersumpah dengan kalimat pasti, oleh
karena tidak ada jalan baginya untuk memastikannya terhadap sesuatu yang tidak
ada pada orang lain, tetapi hendaklah dia menyatakan dalam sumpahnya: “Demi
Allah saya tidak tahu, bahwa Fulan melakukan demikian”.
(42) Adapun syarat Islam berdasarkan firman Allahj
Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di
antara kamu” (al Baqoroh: 282). Orang kafir tidak termasuk orang laki-laki di
antara kita, dan berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil di antara kamu” (at Tholaq: 2). Orang kafir tidak
termasuk orang adil di antara kita. Juga perlu dikathui, bahwa persaksian itu
suatu kekuasaan, dan tidak ada kekuasaan bagi orang kafir, sebagaimana telah
anda ketahui, perhatikan CK. no: 4). Adapun baligh dan sehat akal dan merdeka ;
karena anak-anak, orang gila, dan budak tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya
sendiri, maka tidak pula memiliki kekuasan terhadap orang lain. Oleh karena itu
tidak dapat diterima persaksiaanya. Adapun tenatng adil, berdasarkan firman
Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu” (at Tholaq: 2). Dan ayat ini cukup jelas
tentang dipersyaratkannya saksi harus adil.Dan firman Allah Ta’alaa:
“dari saksi-saksi yang kamu ridloi” (al Baqoroh: 282). Tidak dianggap adil
orang yang tidak diridloi.
(43) "الكبائر" kata
jamak (plural) dari: "كبيرة" (dosa
besar), yakni semua yang dijelaskan dengan ancaman siksa yang berat di dalam al
Qur’an dan hadits, pelanggaran tersebut menunjukkan sikap meremehkan agama,
seperti minum khomer, bergelimang dalam usaha riba, menuduh orang mukmin
berbuat zina. Allah Ta’alaa berfirman: “Tidak dapat diterima persaksian mereka
selamanya, mereka itu adalah orang-orang fasiq” (an Nuur: 4). "الصغائر" kata jamak (plural) dari: "صغيرة" (dosa
kecil), yakni dosa yang tidak termasuk ke dalam dosa besar, seperti melihat
sesuatu yang haram, berseteru dengan sesama muslim lebih dari tiga hari, dan
sebagainya. "سليم السريرة" (hatinya selamat) artinya aqidahnya benar. Tidak dapat diterima
persaksian orang yang berkeyakinan bahwa diperbolehkan memaki-maki sahabat Nabi
ra. "مأمونا" (aman,
terpercaya), aman dari sikap melampaui batas di dalam mengelola sesuatu, serta
aman dari terjatuh ke dalam kebatilan dan hal-hal kotor. "مروءة مثله"
(perwira), artinya berakhlaq dengan akhlaq yang sesuai dengan masyarakat
setempat pada zamannya, yang senantiasa menjaga sopan santun sesuai dengan
syari’at Islam dan semua prosedurnya, di segala zaman dan tempat, dan
kesemuanya itu tetap dipadukan dengan uruf (adat kebiasaan masyarakat
setempat.
(44) Seperti persoalan pernikahan, perceraian,
wasiyat dan lain-lain, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Wahai orang-orang
yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiyat disaksikan oleh dua orang saksi yang adil di antara kamu” (al
Maidah: 106). Dan firman Allah Ta’alaa: “maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik pula, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”
(at Tholaq: 2). Dan Sabda Rasulullah saw.: “Tidak shah nikah, kecuali dengan
wali yang pandai dan dua orang saksi yang adil”, perhatikan CK.no: 13 Kitab
Nikah). Di dalam ketentuan nash tiga (dua ayat dan satu hadits), menjelaskan
bahwa saki itu kaum lelaki, dan diqiyaskan hak-hak sejenis yang tidak disebutkan
di sini.
(45) Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan
sebagainya. Dasar masalah ini adalah firman Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kamu, jka tidak ada dua
orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita dari
saksi-saksi yang kamu ridloi, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi
mengingatkannya” (al Baqoroh: 282). Hadits riwayat Muslim (1712), dari Ibnu
Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw. memutuskan perkara dengan sumpah dan
seorang saksi. Di dalam kitab Musnad as Syafi’ie: Amru – Ibnu Dinar
meriwayatkan dari Ibnu Abbas – dia berkata dalam urusan harta. (al Um: VI/156)
Hamasy). Bahwasanya Rasulullah saw. memutuskan perkara dengan sumpah dan
seorang saksi dalam urusan harta.
(46) Pada umumnya; dari hal-hal yang berkaitan
dengan rahasia wanita. Demikian puila dalam hal persusuan anak, persalinan dan
sebagainya. Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abi Saibah, dari az Zuhrie
rohimahullah Ta’alaa, ia berkata: Telah berjalan sunnah, bahwa diperbolehkan
kesaksian wanita dalam urusan yang tidak diketahui oelh kaum lelaki, antara
lain urusan wiladah (persalinan), rahasia wanita dan sebagainya (al Iqnak:
II/297). Seperti pendapat ini terdapat pendapat dari Tabiin sebagai hujjah
(dasar hukum), karena dianggap hadits marfu’, selamatidak dianggap pendapat
ahli rokyu dan bukan pula hasil ijtihad. Dan diqiyaskan apa yang tidak
disebutkan di sini kepada apa yang sudah dijelaskan. Dipersyaratkannya saksi
lebih dari satu, oleh karena Pembuat syara’ (Allah) menjadikan dua saksi wanita
sama dengan satu saksi laki-laki. Apabila dapat diterima persaksian hanya dari
wanita tentang urusan kewanitaan, maka dapat diterimanya kesaksian seorang
laki-laki dan dua orang wanita lebih tepat, oleh karena pada asalnya saksi itu
harus laki-laki, demikian pula apabila saksi hanya dari laki-lakai saja.
(47) Karena persaksian wanita dalam hal ini adalah
dianggap syubhat (meragukan), dan hak Allah ini harus dilakukan secara
hati-hati. Demikian pula penerimaan saksi hanya untuk kaum lelaki saja,
tertutup bagi wanita. Hadits riwayat Malik dari az Zuhry, ia berkata: Telah
berlaku sunnah, bahwasanya tidak diperbolehkan persaksian dari kaum wanita
dalam hal hudud (hukuman zina) (al Iqnak: II/296).
(48) Dasar yang menunjukkan demikian adalah banyak
Ayat, antara lain firman Allah Ta’alaa: ‘Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak dapat mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah (cambuklah) mereka delapan puluh kali dera” (an
Nuur: 4). Telah ditetapkan bahwa wajibnya cambuk adalah karena tidak adanya
saksi empat orang, hal ini menunjukkan bahwa perzinaan tidak dianggap terbukti
terjadi, kecuali dengan empat saksi. Allah Ta’alaa berfirman: “Dan terhadap
wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi
di antara kamu “ ( an Nisak: 15). Rasulullah saw. bersabda dalam hadits ifqi (kebohongan), suatu tuduhan
terhadap A’isyah ra. berbuat keji; Allah berfirman: Mengapa mereka tidak
menghadirkan empat orang saksi, apabila tidak dapat menghadirkan empat orang
saksi, meka mereka itu di sisi Allah sebagai
pendusta” (an Nur: 13). Ayat-ayat ini kesemuanya menunjukkan bahwa nisab
(batas minimal) saksi dalam urusan perzinan harus empat orang laki-laki. Dan
dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim (1498), bahwsanya Sa’id bin Ubadah ra.
berkata: Ya Rasulullah, kalau saya menjumpai isteri saya bersma dengan seorang
laki-laki. Saya tidak terburu-buru, sampai saya dapat mendatangkan empat orang
saksi? Rasulullah saw. menjawab: “Ya benar”. Ia berkata: Tidak demikian, demi
Dzat yang telah mengutus engkau dengan benar, apabila saya mendahului dengan
pedang sebelum itu. Rasulullah saw.
bersabda: “oleh kalian semua apa yang dikatakan oleh tuanmu: Sesungguhnya itu
adalah karena rasa cemburu, dan saya lebih cemburu dari dia, dan Allah lebih
dari saya”. Hadits ini terjadi ketika turunnya ayat: "والذين
يرمون المحصنات ……." Lalu turun ayat tentang sumpah li’an,
sebagai kelonggaran bagi suami, perhattikan CK. no: 59 dan 60 Kitab Nikah).
(50) Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2342),
dan lainnya, dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Manusia sama-sama melihat hilal,
maka saya memberitahukan kepada Rasulullah saw. bahwa saya telah melihat hilal,
maka beliau langsung berpuasa dan memerintahkan manusia agar melaksanakan puasa Romadlon. Hikmah dari
penerimaan satu saksi dalam hal hilal ini, adalah sebagai sikap berhati-hati
terhadap urusan puasa. Apabila ternyata salah dalam melakukan ibadah, maka
sedikit sekali mafsadahnya, bila dibandingkan dengan kerusakan karena meninggalkannya. Oleh karena itu tidak dapat
diterima perseksian hilal pada bulan syawal kurang dari dua orang saksi.
(51) Misalnya seorang mengakui benda itu miliknya,
dan tidak ada pihak lain yang mengakuinya, lalu orang buta menjadi saksi: bahwa
barang itu ada pemiliknya, tanpa menyandarkan kepemilikan kepada seseorang
tertentu. Maka persaksiannya dapat
diterima dalam urusan ini, oleh karena tidak emmerlukan penglihatan serta
pendengaran secara khusus, oleh karena hal itu sudah tersebur luas sejak waktu
yang lama, yang sulit untuk mendatangkan saksi permulaanm karena sudah tidak
adanya yang mengetahui apda umumnya.
(52) Yakni penjelasan tenatng kalimat yang
dipertentangkan, serta menyaksikan serta menjelaskannya, oleh karena yang
demikian itu berkaitan erat dengan bentuk lafadh (penuturan), yang tidak
memerlukan penglihatan.
(53) Dia membawakan persaksian terhadap apa yang
dilihat sebelum dia buta, apabila yang dipersaksikan itu dia ketahui nama dan
nasabnya.
(54) Sudah dipegangnya, misalnya seorang menyatakan
tentang diizinkannya orang buta menjadi saksi berupa pendapat, dalam kaitnannya
dengan penetapan atau tholak dan sebagainya, dan kesemuanya itu sangat
tergantung kepada hakim, dia bersaksi berdasarkan pernyataannya tentang
diizinkannya menjadi saksi.
(55) Contah kepentingan pertama: bila seorang ahli
waris bersaksi, bahwa orang yang berhak diwarisi hartanya meninggal sebelum
sembuh dari lukanya, agar dia berhak menerima diyat atas kematian pewarisnya.
Contoh kedua: Orang yang berkewajiban membayar diyat bersaksi dalam hal
pembunuhan khotho’ (tak sengaja), bahwa pembunuhan adalah orang fasiq, sehingga
tidak mengakibatkan kewajiban membayar diyat pembunuhan. Dasar penolakan saksi
yang demikian adalah adanya kecurigaan.
(1) Yakni melepaskan hak kepemilikannya terhada
manusia, dan membebaskannya dari perbudakan, untuk mendekatkan diri kepada
Allah Ta’alaa. Telah jelas dianjurkannya perbuatan itu, dan dianggap sebagai
perbuatan sunnat oleh banyak nash baik dari al Qur’an maupun hadits. Adapun
nash dari al Qur’an, contohnya firman
Allah ta’alaa: “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu?Uaitu
memeredkakan budak” (al Balad: 11 – 13). Antara lain juga ayat tentang kafarat:
seperti kafarat pemnbunuhan, dhihar,
sumpah, sebagaimana yang telah anda ketahui. Adapun banyak hadits, antara lain:
hadits riwayat al Bukahry (2381)), dan Msulim (1509), dari Abi Hurairoh ra. ia
berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang
memerdekakan budak yang mukmin, maka bagi dia suatu kebebasan dari siksa neraka”.
Pengertian budak termasuk laki-laki dan wanita. Dan Rasulullah memerintahkan
memerdekakan budak ketika terjadi bencana. Hadits riwayat al Bukhary (2383),
dari Asmak bin Abi Bakar ra. ia berkata: Nabi saw. memerintahkan untuk
memerdekakan budak ketika terjadi
gerhana matahari.
(2) Artinya dia memiliki hak mutlak mengelola
harta miliknya, yakni setiap orang yang baligh, berakal sehat, tidak mahjur
(dibatasi hak-haknya), karena bodoh, atau karena bangkrut, oleh karena
memerdekan budak itu merupakan perbuatan sunnat. Dan tidak sah berbuat ibadah
sunnat, kecuali oleh orang yang memenuhi sifat tersebut (mukallaf).
(3) Semua ungkapan yang mengandung pengertian
pelepasan kepemilikan, atau munculnya isyarat perpisahan. Misalnya menyatakan:
“Saya sudah bukan lagi penguasa atas kamu” atau “engkau merdeka” atau “Sudah
tidak kewajiban atasmu melayani aku” dan sebagainya.
(4) Apabila orang yang memerdekakan sebagian budak
sebagai ahknya tadi tidak mampu untuk memerdekakan sisanya, maka budak tersebut
diberi kesempatan untuk bekerja agar mampu menebus separo harga dirinya yang
belum merdeka, untuk diserahkan kepada teman perserikatannya, sehingga budak
tersebut dapat merdeka secara sempurna. Hadits riwayat al Bukhary (2386), dan
Muslim (1501), dan lainnya, dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Rasulullah
saw.bersabda: “Barang siapa yang memerdekakan budak dalam persekutuan, dan dia
memiliki harta cukup untuk membeli budak tersebut, maka hendaklah ahrga budak
tersebut ditaksir dengan secara obyektif (adil), kemudian dia memberikan bagian
teman sarikatnya, maka budak tersebut menjadi merdeka. Bila tidak demikian,
maka budak tersebut merdeka sebatas hak orang yang memerdekaknnay (mungkin
hanya setengah merdeka). Hadits riwayat al Bukahry (2360), dan Muslim (1503),
dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barang
siapa yang memerdekakan yang menjadi hak miliknya dari seorang budak, maka dia
wajib membebaskan dengan hartanya, bila tidak mampu, maka ditaksir harga budak
tersebut dengan adil, lalu budak tersebut diberi kesempatan bekerja yang tidak
memberatkan untuk menebus separo dirinya”. Apabila memerdekakan sebagian
(separo) dari budak, maka berlaku
secara keseluruhan, oleh karena
pemerdekaan secara keseluruhan bila mampu adalah lebih afdlol.
(5) Artinya barang siapa yang memiliki salah satu
dari asal-usulnya (orang tuanya), bahkan sampai kakek dan nenek, atau cabangnya
(anaknya), bahkan sampai cucu, maka langsung menjadi merdeka, berdasarkan
kepemilikan. Dasarnya adalah hadits riwayat Muslim (1510), dan lainnya, dari
Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak kebaikan anak
terhadap bapaknya, kecuali bila dia mendapati ayahnya menjadi budak lalu dia
membelinya dan kemudian memerdekakannya”. Artinya pembelian terhadap ayahnya
yang menjadi budak, sebagai sebab ayahnya menjadi merdeka, maka ayahnya menjadi
merdeka sebab pembelian tersebut, dan tidak memerlukan penjelasan baru lagi.
Dan diqiyaskan kepada pembelian, sebab
kepemilikan yang lain, seperti hibah, warisan dan sebagainya.
(6) Hak miliknya. Tetap berada pada orang yang
memerdekakan budak, tidak ada yang berhak menggugurkannya atau memindahkan dari
padanya. "الولاء" berasal dari kata: "الموالاة" artinya: tolong menolong,
atau pertolongan. Yang dimaksudkan hadk waris apabila tidak didapati ashobah
dari hubungan nasab (keturunan). Hadits riwayat al Bukahry (444), dan Muslim
(1504), dari A’isyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
walak itu adalah hak orang yang memerdekakan”. (Penerjemah: Misalnya Ahmad
memerdekakan budak bernama Ali, kemudian Ali meninggal dunia dan meninggalkan
harta, maka Ahmad memiliki hak walak, yakni menjadi ashobah, apabila Ali tidak
mempunyai ashobah berdasar nasab).
(7) Menjadi hak orang yang memerdekakannya,
apabila tidak ada ashobah dari nasab, seperti anak, ayah, atau saudara
laki-laki. Dialah yang berhak memiliki harta warisan, serta kekuasaan menerima diyat, serta hak menuntut dan
sabagainya. Hadits riwayat al hakim (IV/341), dan dinyatakan shohih sanadnya:
Rasulullah saw. bersabda: “Walak itu merupakan hubungan kekerabatan seperti
hubungan kekerabatan karena nasab”.
(10) Hadits riwayat al Bukahry (2398), dan Muslim
(1506), dari Ibnu Umar ra. ai berkata: Rasulullah saw. melarangmenjual walak
atau menghibahkannya.
(11) Berasal dari kata: "التدبير" yaitu:
suatu ta’liq (pernytaan bersyarat) dari pemilik budak, untuk
memerdekakan budaknya setelah dia mati, dinamakan mudabbar karena kematian
merupakan dubur (dibelakang/sesudah kehidupan), atau kematian adalah akhir
hayat atau penghabisan hayat.
(12) Sepertiga dari harta peninggalan tuannya,
setelah diambil untuk membayar hutang-hutangnya, oleh karena mudabbar adalah ibadah sunnat yang bergantung kepada
kematian, maka disamakan dengan wasiyat, yakni hanya sepertiganya. Diriwayatkan
bahwasanya Ibnu Umar ra. berkata: Mudabbar itu sepertiga dari harta
peninggalan, riwayat ad Daroquthny (IV/138), dan tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya, maka menjadi hukum ijmak (Nihayah: III/116).
(13) Hadits riwayat al Bukhary (2034), dan Muslim
(997), dari Jabir bin Abdullah ra., bahwasanya seorang lelaki memerdekakan
budaknya dengan cara menjadikannya mudabbar, lalu dia sangat membutuhkan, maka
Rasulullah mengambilnya, dan bersabda: “Siapakah ayng mau membelinya dariku”.
Maka Nu’aim bin Abdullah membeli budak tersebut, demikian … demikian. Maka
uangnya dikembalikan kepadanya.
(14) Tuannya masih memiliki hak untuk mengelolanya,
menjualnya, menghibahkannya dan sebagainya, berdasarkan hadits di muka.
(15) "الكتابة" menurut bahasa: menyusun
dan menyepakati, menurut syara’: suatu akad (perjanjian) untuk memerdekakan
dengan suatu imbalan (kompensasi), dengan sayarat-syarat tertentu. Dengan
lafadh tertulis. Dinamakan kitabah oleh karena budak itu termasuk bagian dari
harta, untuk dipisahkan sampai merdeka. (Budak yang melakukan perjanjian
tersebut disebut budak mukatab). Allah Ta’alaa berfirman: “Dan budak-budak
yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (menjadi mukatab),
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui adanya
kebaikan pada mereka” (an Nuur: 33). Maksud kebaikan pada mereka adalah: mereka
mampu bekerja serta dapat dipercaya.
(16) Kata: "نجمان"
adalah mutsanna
(kata dua) dari "نجم" (satu kali) atau bintang, "نجمان" (dua kali angsuran), yang menunjukkan waktu. Karena orang Arab
menentukan waktu dengan terbutnya
bintang. Dengan memastikan jumlah harta yang harus diserahkan setiap waktu yang
telah ditentukan.
(17) Pengertian: "لازمة" (tetap), dia wajib meneruskan
akad kitabah tersebut, tidak
boleh membatalkannya atau menarik diri dari perjanian tersebut. Sedangkan: "جائزة"
(relatif/bebas), artinya bahwa bagi mukatab tidak wajib memeprtahankan
perjanjian tersebut, dia berhak menarik kembali dan membatalkan akadnya, baik
karena tidak mampu membayar angsuran atau tidak. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin kebaikan mukatab, oleh karana akad kitabah itu disyari’atkan pada
dasarnya untuk kemaslahatan budak.
(18) Merelakan kepada budaknya sebagian harta
(tuan) yang disepakati, untuk memudahkan bagi mukatab membayar angsuran. Allah
Ta’alaa berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepada kamu” (an Nuur: 33).
(19) Hadits riwayat Abu Dawud (3926), dari Abdullah bin Amru ra. dari Nabi saw. beliau
bersabda; “Budak mukatab adalah budak murni selama masih ada sisan angusran
kitabahnya walaupun hanya satu dirham saja”.
(20) Setelah melahirkan anaknya, maka amat tersebut “ummul walad”, dasarnya sebagaimana dijelaskan
di dalam hadits riwayat ad Daroquthny
(IV/134), dan al Baihaqy (X/348) dan
dinyatakan shohih, terhenti pada
perkataan Umar ra. : Ummal walad tidak
boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwaris, tuannya boleh
menyetubuhinya selama dia masih hidup. Apabila dia (tuan) sudah mati, maka
ummul walad menajdi merdeka. Dinyatakan shohih oleh Ibnul Qoththon, dan
dinyatakan hadits ini marfu’. (Nihayah: III/121). Menurut Malik di dalam al
Muwathok: II/776), bahwasanya Umar Ibnul Khothob ra. berkata: Semua ummmul
walad yang melahirkan anak dari tuannya,
maka sesungguhnya tuannya tidak boleh menjualnya, atau menghibahkannya, atau
mewariskannya, dia (tuan) boleh menyetubuhinya, apabila dia (tuan) mati, maka
otomatis dia (amat) merdeka.
(21) Sesudah ummul walad merdeka, apabila datang
anak yang berasal dari ayah lainnya, maka anaknya menjadi merdeka seperti
ibunya sesudah tuannya mati, oleh karena anak mengikuti status ibunya dalam hal
kemerdekaan.
(24) Sesudah disetubuhi karean hubungan pernikahan,
misalnya: Dia menikahi seorang wanita budak, lalu menyetubuhinya, kemudian
budak wanita itu melahirkan anaknya dari orang yang menikahinya, lalu budak itu
dicerai (kembali ke tuannya), kemudian budak wanita yang mantan isterinya
tersebut menjadi miliknya secara penuh, dengan cara membeli, atau hibah dan sebagainya.
(25) Ini yang benar, dan yang paling benar adalah
tidak menjadi ummul walad, selama dia tidak menyetubuhinya dan amat tersebut
tidak mengandung, setelah menjadi miliknya secara penuh.
(26) Sempurnalah kitab ini dengan fadlilah dari
Allah Ta’alaa. Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw. dan kepada seluruh keluarga beliau dan para sahabat beliau serta
mendapatkan keselamatan. "الحمد للـه رب
العالمين" .
Comments
Post a Comment